"Mas sudah makan?" Tanya Nara setelah Rajendra mengangkat panggilannya.
"Sudah, Nara sudah dimakan bekalnya?"
Nara menjawab, "Belum. Ini lagi mau aku makan," Nara membuka bekal yang dibawakan oleh Rajendra. Sudah berbulan-bulan mereka bertunangan dan kebiasaan Rajendra yang membawakan bekal untuk Nara masihlah berlanjut walaupun seringnya Nara makan di apartement atau kostnya.
"Setelah ini kemana?" Rajendra bertanya dengan penuh perhatian. Hal-hal seperti inilah yang membuat Nara suka bebicara dan bertelponan dengan Rajendra. Rajendra selalu memberikan perhatian padanya, dilihat dari tutur kata dan perlakuannya.
"Aku mau ke Gramedia, pengin beli novel deh," ujarnya sembari menyuapkan nasi dengan perlahan.
"Naik apa? Minta Pak Hirman atau naik taksi saja ya?"
"No, aku udah lama gak naik sepeda. Lagipula dekat juga dari kost. Kalau sama Pak Hirman kasihan harus kesini dulu," Nara memang ingin naik sepeda lagi, setelah menjadi tunangan Rajendra, dia seolah menjadi orang kaya.
Pak Hirman atau Rajendra sendiri yang sering mengantar jemputnya atau tidak ya pakai taksi. Bahkan motornya menganggur saja di kost, Nara memakai untuk rute dekat-dekat saja karena Rajendra melarang Nara setelah melihat bagaimana amatirnya Nara dalam mengendarai motor.
"No, naik taksi saja atau langsung sama Pak Hirman," Rajendra masih berkeras tampaknya.
"Ih Pak Hirman di rumah mama, jauh dari apart Mas Rajen. Lagipula dekat juga, boleh ya? Please Mas Rajen sayang," Nara memelas hingga Rajendra terdengar menghela nafasnya tidak bisa menolak.
"Seharusnya mas gak beliin kamu sepeda," Rajendra tampak menggerutu dari sebrang sana. "Hati-hati, tengok kanan kiri juga. Naik sepedanya pelan saja," nasihatnya kemudian.
"Siap Mas Rajen. Jadi ganteng deh kalau gini," Nara menggombal yang ditanggapi Rajendra dengan kekehan ringan.
"Memangnya bisa lihat?" Tanya Rajendra.
"Gak perlu dilihat, aku bisa bayangin kok seberapa gantengnya mas." Nara terkikik geli. "Yasudah, selamat bekerja lagi. Mas ada seminar kan? Jangan lupa perbanyak senyum." Ujar Nara dengan lembut.
"Akan mas ingat. Ingat juga, kartu yang mas kasih itu dipakai dengan baik. Mas lihat kamu jarang sekali belanja banyak," Rajendra kembali mengungkit hal ini.
Ah, semenjak menjadi tunangan Rajendra, Nara diberikan kartu atm berisi yang bisa Nara tebak banyak isinya tetapi Nara jarang menggunakannya. Selagi dia masih bisa membeli, dia akan tetap membeli dengan uang pemberian orang tuanya. Kalau pun ingin sesuatu, dia juga menabung dulu. Tapi jika sudah ketauan Rajendra, keinginannya akan ada di depan mata saat itu juga. Nara senang-senang saja tapi dia juga ingat perkataan orang tuanya.
"Kalian memang bertunangan, tapi bijak-bijak menggunakan atm ini ya Nara. Ayah harap kamu tidak keblinger," kata ayahnya saat dia bercerita. Fyi, keblinger itu sama dengan terlena.
"Iyaa Mas Rajen sayang. Lagipula aku masih punya uang kok buat beli bukunya. Jangan khawatir," kata Nara.
"Memang, tapi mas juga ingin memberikan yang terbaik untuk kamu, Tink. Jadi, nanti pakai belanja ya?" Ujar Rajendra dengan nada lembut dan membujuk.
Nara akhirnya setuju, setelahnya mereka membahas banyak hal hingga waktu jam makan siang Rajendra telah selesai, saat itulah telepon berakhir.
Setelah menghabiskan bekalnya, Nara segera mencuci tempat makan dan bergegas keluar. Dia tersenyum saat melihat sepedanya yang sangat unyu sekali. Dulu saat masih SMP, Nara selalu berangkat menggunakan sepeda bersama teman-temannya. Sepedanya adalah tipe sepeda gunung, susah untuknya yang memakai rok. Nara inginnya membeli dengan tipe yang sama namun Rajendra melarang karena berbahaya untuk Nara jika tidak bisa menjaga keseimbangan dengan baik, maka sepeda inilah pilihannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall In Love
Fiksi UmumFall in love Love And become a lovers Pernahkah kalian mendengar kalimat ini? Love enters a man through his eyes, woman through her ears, kutipan oleh Polish Proverb. Lalu, pernahkah kalian jatuh cinta? Jika iya, apa yang pertama kali membuatmu jatu...