Ada kalanya Rajendra merasa begitu kesepian namun dengan kepala yang penuh dengan bisikan. Rajendra sepenuhnya tau jika ada yang bermasalah pada dirinya. Menjadi seorang dokter yang sudah sangat terkenal keahliannya tidak membuat hidup Rajendra sempurna. Pada kenyataannya, hidupnya jauh dari kata sempurna.
Rajendra sungguh berterimakasih pada Kirana dan Chandra yang memberikan kasih sayang pada dirinya, membiarkannya hidup dengan apa yang dia mau. Terimakasih untuk ayahnya, yang membuatnya bisa sampai di titik ini. Menjadi Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah adalah mimpinya ketika melihat Ayahnya meninggal karena penyakit jantung.
Lalu kepada kedua orang yang membuatkannya hidup didunia, Rajemdra selalu memiliki tempat tersendiri untuk mengenang orang-orang baik di masa lalu, sekaeang maupun di masa yang akan datang.
Chandra, adiknya tadi malam sampai di rumah dengan wajah yang terlihat sangat gembira. Rajendra tau jika adiknya itu ceria sama seperti mama dan ayah. Saat ditanya mama, Chandra hanya menunjukkan senyum misterius dengan pipi yang kentara bersemu merah.
"Kamu kenapa daritadi mama perhatiin senyum-senyum nggak jelas gitu si," Tanya Mama tadi malam. Rajendra yang kebetulan dipaksa sang mama menginap dirumah hanya memandang Chandra dengan satu alis terangkat.
Chandra kembali tersenyum, "Habis dari pasar malam," jawab Chandra yang sejujurnya tidak cocok dengan pertanyaan mamanya. Tentu mama tidak puas.
"Terus?"
"Sama temen,"
"Terus?"
"Nabrak lah Ma," ujar Chandra bercanda. Chandra menghampiri Rajendra lalu menepuk bahu Rajendra dengan pelan.
"Mas, lo harus menikmati hidup ini dengan cinta. Lo tau kan kalau hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga," ucap Chandra saat melihat Rajendra yang mengerjakan berkasnya.
Rajendra hanya menatap Chandra dengan datar, dia tidak peduli dengan perkataan melantur adiknya. Memilih menyibukkan dirinya dengan rekam medis yang ada di hadapannya.
"Rajendra walaupun hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga, soalnya bunga Rajendra kan bersemi di bank, Chan," canda Mama. Rajendra hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pelan tanpa menyaut, seperti biasa.
"Tanyain dong Mas kenapa aku kelihatan happy. Aku kan seneng mas perhatiin," Chandra masih berlanjut menggodanya.
Rajendra dengan sejenak menatap sang adik. Lalu hidungnya mencium aroma yang sangat dikenali akhir-akhir ini. Rajendra memastikan.
"Habis dari pasar malam sama Nara?" Tanya Rajendra dengan tepat saat melihat Chandra melebarkan kedua matanya.
"WHAT? Kamu habis dari pasar malam sama Nara?" Tanya Mama dengan mata yang melotot. Mama memandang Rajendra dengan pandangan yang entahlah. Mama tidak mungkin lupa kan kalau Nara itu teman Chandra, bukan Rajendra.
"Tebakan lo seratus persen bener. Lo tau darimana Mas?" Chandra menggaruk-garuk kepalanya dengan pipi yang perlahan bersemu merah.
Rajendra mengendikkan bahunya tanpa menjawab pertanyaan Chandra. Memilih menyibukkan dirinya daripada memikirkan aroma tipis khas Nara yang entah kenapa Rajendra hapal diluar kepala. Sungguh diluar kendali Rajendra sendiri.
Kenapa Nara...
"Aku kenapa Om?"
Rajendra mengalihkan pandangannya pada perempuan di depannya yang sibuk memperhatikan bumbu-bumbu untuk sotonya. Rajendra menaikkan satu alisnya tidak mengerti. Apakah pikirannya tidak sengaja terlontar dalam bentuk kata?
"Yah, Om tadi bilang kenapa Nara gitu. Ya aku kenapa Om?" Tanya Nara sembari tangannya cekatan memeras jeruk nipis dengan jumlah yang banyak di sotonya yang hanya satu mangkok.
Rajendra mengernyit, "Apa enggak asam?" Tanyanya kemudian dengan heran dengan selera Nara.
"Aseman juga ekspresi Om," gumam Nara pelan yang tentu Rajendra dengan. Biarpun pelan, Rajendra memahami seluruh gumaman Nara.
"Kenapa?"
"Oh enggak papa. Aku kasih banyak karena emang suka jeruk nipis asem aja Om. Lagian si Om yang mengalihkan topik alus banget. Aku nggak nyangka aja seorang Om Rajendra mengalihkan pembicaraan," jelas Nara dengan panjang lebar. Rajendra tersenyum tipis lalu tangannya tanpa bisa dicegah mengusap rambut Nara.
Nara terkejut, begitupun dirinya. Tidak ada dipikirannya dulu akan menyentuh seorang perempuan selain pasiennya-karena profesi Rajendra sendiri- dan mamanya. Nara, adalah yang pertama. Rajendra tidak tau, tapi rasa ini sungguh asing.
Rasa yang kemungkinan akan menyakitinya di kemudian hari.
***
Rajendra memperhatikan Nara yang berdiri disebelahnya menunggu waktu untuk menyebrang. Jalanan sangat ramai hari ini. Anak-anak sekolah yang seharusnya belum mempunyai SIM dan menaiki kendaraan pun terlihat berlalu lalang.
"Aduh rame amat dah. Sepi aja gue takut," gerutu Nara pelan sembari meremas tanganya dengan gelisah. Rajendra menyadarinya. Nara takut menyebrang.
Entah pikiran darimana Rajendra mengulurkan tangannya di depan Nara. Rajendra memperhatikan Nara yang terlihat terkejut dengan aksinya.
"Ini buat apa Om?" Tanya Nara sambil menunjuk tangannya yang terulur.
"Pegang. Kamu takut kan?" Tanya Rajendra pada Nara yang terlihat berpikir.
"Yaiya sih aku takut," Nara menganggukan kepalanya namun tidak segera menyambut tangannya.
Rajendra menghela napas. Dirinya tidak boleh lupa jika ia adalah Rajendra. Bukan Chandra yang akan Nara terima sepenuh hati bantuannya. Belum Rajendra menarik tangannya, Rajendra melihat sebuah motor dengan kecepatan tinggi yang dikendarai seorang pemuda berseragam SMA kehilangan kendali.
Dengan spontan Rajendra menarik Nara menghindar dari pengendara yang juga terlihat panik itu. Rajendra mengorbankan perutnya hingga terserempet serta menjadikan punggungnya sebegai tameng agar Nara tidak merasa sakit saat terjatuh.
Nara menjerit saat tubuh mereka jatuh dengan keras ke tanah bersamaan dengan motor tersebut yang menabrak tembok warung soto dengan lumayan kencang.
Rajendra meringis saat tubuhnya terjatuh di tanah yang berbatu kecil. Sungguh menyakitkan saat tubuhnya menghantam batu dengan ujung lancip itu. Untung saja Rajendra mengangkat kepalanya sehingga terhindar dari benturan. Dan untung saja... Nara selamat.
"Hei are you okay?" Tanya Rajendra dengan suara pelan.
Nara menangis tergugu, tidak dapat berpikir dengan benar. Kejadian itu membuat Nara shock, tentu saja. Rajendra maklum. Daripada menyuruh Nara untuk bangun, masih di posisi tadi Rajendra menenangkan Nara yang terlihat menangis sesenggukan.
Orang-orang mulai berkumpul mengelilingi korban-Nara, Rajendra, dan pemuda itu. Rajendra tidak mengindahkannya. Yang terpenting adalah menenangkan Nara.
"Hei hei it's okay it's okay," ujar Rajendra mengelus kepalanya Nara.
"It's not. Ah kenapa jadi gini? Kenapa... Ya ampun Om! Kenapa aku malah enakan tiduran gini-," Nara akhirnya sadar dan mengangkat tubuhnya masih dengan tangisan. "-Pasti sakit ya? Aku harus gimana Om?" Tanya Nara dengan tersendat.
Rajendra bangun dengan dibantu oleh orang-orang disekitar. Rajendra juga tau jika pemuda itu mendapatkan nasihat dari orang-orang untuk lebih hati-hati. Rajendra setuju dan itu tidak penting untuknya sekarang.
Dilihatnya Nara yang menangis sesenggukan bahkan napasnya tampak tidak beraturan. Dengan kekuatannya yang tersisa setengah, Rajendra beralih memeluk Nara. Tidak dipedulikannya pandangan orang sekitar. Prioritasnya adalah Nara.
Rajendra sadar. Rajendra fell in love with Nara, deeply.
TBC
GIMANA NIH TANGGAPANNYA? XIXIXIXI
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall In Love
Ficção GeralFall in love Love And become a lovers Pernahkah kalian mendengar kalimat ini? Love enters a man through his eyes, woman through her ears, kutipan oleh Polish Proverb. Lalu, pernahkah kalian jatuh cinta? Jika iya, apa yang pertama kali membuatmu jatu...