Siang ini, setelah pulang dari kampus Nara berencana untuk menjenguk budhenya yang katanya dirawat di Rumah Adam. Walaupun Nara sudah hampir satu tahun di Jakarta, tapi baru kali ini Nara masuk ke dalam Rumah Adam. Rumah Sakitnya sih besar, fasilitasnya juga memadai dan sudah terbukti sebagai rumah sakit swasta paripurna karena banyak review bagus. Selain itu, kata temen-temennya yang suka berburu cogan alias cowok ganteng, di sini banyak dokter-dokter muda yang ganteng. Nara sih waktu itu tidak tertarik sama yang diomongin si pegan itu—julukan pencari cogan, soalnya waktu itu dunia Nara hanya berputar tentang Chandra. Tapi waktu Nara datang langsung dan melihat sendiri, memang di sini banyak cogan.
Nara berjalan di koridor utama rumah sakit, untung saja mamanya sudah memberi tau nomor kamar tempat budhenya dirawat. Jadi Nara memutuskan untuk langsung saja pergi ke kamar rawat budhe. Namun pandangan Nara tertarik melihat sesuatu, ah tidak, lebih tepatnya seseorang.
Laki-laki itu, laki-laki yang sama saat dia salah masuk toilet. Sekarang Nara bisa melihat wajahnya dengan jelas, dengan balutan sneli jujur saja laki-laki yang sekarang akan Nara panggil om itu sungguh tampak tampan dan dewasa.
Wajah om tampak datar namun ada sorot menyeramkan tanda jika dia sebenarnya sedang marah sementara laki-laki di belakang om menampakkan wajah ketakutan walaupun coba untuk ditutupi. Nara meneguk ludahnya, "Aura nyereminnya kerasa sampai sini," gumam Nara. Saat kakinya akan melangkah menuju bangsal di mana budhenya berada, Nara malah menghentikan langkahnya. Menatap penasaran arah mana kedua laki-laki itu pergi.
"Gak mungkin ada kekerasan di rumah sakit kan ya? Si om kayaknya dokter dan gak mungkin dokter impulsif kan ya?" Nara bergumam namun kakinya tampak perlahan mendekati sebuah ruangan yang sepi tanpa orang-orang berlalu lalang.
"Gimana kalau gue lihat adegan plus-plus? Sekarang kan banyak cowok makan cowok," Nara bermonolog, namun jiwa-jiwa penasarannya memang sialan. Nara bersembunyi di belakang tembok. Jantungnya berdetak sangat cepat saat mendengar suara yang sama saat menegurnya kemarin.
"Saya gak bakal toleran lagi kalau masih mendapati anda curang."
Nara merinding, suara sarat akan hawa dingin dan menyeramkan itu tampak mengalun perlahan seolah membuat yang mendengarnya untuk tidak membantah. Nara kembali melanjutkan kegiatannya mengintip. Dan kenapa rumah sakit yang tadinya ramai terasa sepi sekali di ruangan ini?
"Ma...maaf dok, saya gak bakal mengulangi. Saya gak bakal mengulangi lagi," suara laki-laki yang menjawab itu tampak gugup dan gemetar membuat Nara ikut gemetar.
"Pergi."
Nara menempelkan badannya rapat ke arah tembok ketika laki-laki berpakaian kaos maroon berjalan dengan cepat keluar. Dan sekarang dia bingung, kalau keluar sekarang tentu akan ketahuan tetapi kalau mau bersembunyi pun sembunyi dimana. Nara mengedarkan pandangannya ke belakang, saat menemukan banyak kardus kosong dengan cepat Nara mendapatkan ide. Mung—
"Tidak sopan."
Nara terkesiap.
"Keluar sendiri atau mau saya seret?"
Dengan gegap Nara keluar dari tempat persembunyiaannya dengan mata melotot. Nara meneguk ludahnya saat tidak sengaja netranya bertubrukan dengan netra sang om.
"Sudah?"
Nara malah menganggukkan kepalanya mendengar pertanyaan sarkastik itu, "Ma.. maaf, gak sengaja." Kini Nara yang gemetaran apalagi saat melihat langkah si om semakin mendekat. Nara rasanya ingin menghilang saat ini juga.
Laki-laki dengan snelli bernametag Rajendra itu berdecak, membuat jantung Nara bertambah kencang memompa. "Perempuan dan sifatnya," kata Rajendra tajam.
Nara melotot tidak terima namun tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. Salahkan saja aura Rajendra yang sangat menekan membuat Nara mendadak kaku.
"Pergi."
Dan Nara tidak menyia-nyiakan kesempatannya.
***
Mood Nara hancur sudah gara-gara om nyinyir itu. Karena sudah merasa malas di sini, sebenarnya bukan cuma malas tetapi ia juga takut dengan om itu. Takut kalau tiba-tiba saja dia menemukannya dan berakhir Nara yang dimutilasi. Ih amit-amit deh jangan sampai ketemu tuh om nyinyir lagi, batin Nara. Nara memutuskan untuk ke rumah Luna, niatnya sih ingin mengajak Luna pergu ke Gramedia tapi gagal karena kata tantenya, Luna pergi jalan-jalan bersama Aria. Aria adalah pacarnya Luna, sudah setahun mereka pacaran.
Di antara mereka bertiga, Luna lah yang paling sering gonta-ganti pacar. Tapi entah kenapa dengan Aria ini dia bisa sampai setahun. Kalau Diva sudah ta'aruf dengan teman masa kecilnya. Sedang Nara tidak perlu ditanya, setiap deket dengan orang paling akhirnya juga ditinggal. Miris tetapi sungguh itu kenyataannya. Sampai kapan Nara akan menemukan orang yang mencintainya dengan sepenuh hati.
Karena Luna tidak ada Nara pun memutuskan untuk pergi ke Gramedia sendiri. Jalan-jalan sendiri tuh rasanya gak enak, apalagi melihat orang yang jalannya berpasangan. Rasanya tuh ada yang kurang. Karena tidak mau berlama-lama di sini, langsung saja Nara mencari buku yang ingin ia beli.
Nara sedang mencari buku kesehatan jiwa, menurutnya kesehatan jiwa itu sangat penting. Walaupun dia bukan berasal dari jurusan kesehatan, namun semua orang harus menjaga kesehatan jiwanya agar tetap sehat jiwa.
Setelah perjuangan yang cukup panjang, akhirnya dapatlah buku yang sedang Nara cari. Saat tangannya akan mengambil buku itu tiba-tiba saja ada tangan lain yang ikut memegang buku itu. Dan betapa terkejutnya Nara saat mendapatkan om nyinyir sedang menatapnya dengan matanya yang tajam itu.
"Saya dulu," katanya.
"Aku dulu lah, kan yang ngambil aku dulu," jawab Nara tidak terima. Ya gimana mau terima kalau semisal kalian sudah cari susah payah malah mau diambil orang lain. Kalian pasti akan merasa sebal seperti Nara sekarang ini.
"Kamu bisa cari yang lain," jawabnya ketus.
Karena gak mau berhubungan sama om itu, Nara lebih memilih untuk pergi darisana. Daripada memperkeruh suasana dan membuat moodnya tambah hancur saja.
Biasanya jika moodnya sedang down, Nara selalu mencari pelariannya dengan makan sampai perutnya kenyang. Seperti sekarang ini, setelah bertemu om itu dan tidak jadi membeli buku. Nara langsung pergi ke foodcourt untuk mengembalikan moodnya.
Semoga gak ketemu sama om itu lagi, doa Nara dalam hati. Entah kenapa saat pertama ia melihat itu om, Nara sudah merasa tidak suka. Mungkin pertemuan pertama yang menurutnya gak banget sama serangkaian kejadian yang berhubungan sama om itu yang selalu membuat moodnya turun.
Setelah memesan makanan Nara langsung mencari tempat duduk yang pas. Saat sedang mencari tempat duduk tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ternyata ada pesan dari Luna,yang katanya minta maaf karena tidak bisa menemani Nara pergi ke Gramedia. Karena tidak melihat jalan, secara tidak sengaja Nara menabrak sesuatu.
Brukkkk
"Adaw, ini apasih keras amat," kata Nara mengusap keningnya. Saat mengangkat pandangannya mata Nara berserobokan dengan pemilik mata tajam yang mempesona kalau saja ia tidak menyimpan dendam kepada orang itu. Ya bisa kalian tebak itu siapa.
"Kalau jalan itu pakai mata," katanya tajam dan jangan lupa intonasinya yang selalu datar dan dingin.
"Lah om itu yang salah, kalau jalan pakai kaki bukan mata," kata Nara membela diri.
Rajendra hanya memandang Nara tanpa mengucapkan apa-apa, setelah itu dia langsung pergi meninggalkan Nara yang masih menahan rasa jengkel dengan sikapnya yang semena-mena itu. Bukannya mengembalikkan moodnya, malah membuat moodnya semakin turun saja.
Nara yang moodnya makin turun memilih untuk pulang ke kostannya saja tetapi sebelum itu ia meminta makanannya untuk di bungkus saja daripada mubazir.
Jangan sampai ketemu om itu lagi, kata Nara dalam hati seraya menunggu pesanan ojek onlinenya.
Tidak ada yang tahu rencana Tuhan, bahkan untuk menyatukan orang yang bertolak belakang sekalipun
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall In Love
Ficção GeralFall in love Love And become a lovers Pernahkah kalian mendengar kalimat ini? Love enters a man through his eyes, woman through her ears, kutipan oleh Polish Proverb. Lalu, pernahkah kalian jatuh cinta? Jika iya, apa yang pertama kali membuatmu jatu...