"Maaf," Ujar Nara pelan sembari membalas pelukan Rajendra yang erat namun melindunginya.
Secepat Rajendra memeluknya, secepat itu pula Rajendra melepaskan pelukannya. Dan untuk pertama kalinya setelah Rajendra mengatakan dia mencintai Nara, Nara kembali merasakan tatapan tajam itu.
Dalam hatinya sudah ketar-ketir, Nara meneguk ludahnya dengan susah payah. Sungguh aura Rajendra kali ini sangat menyeramkan dan Nara rasanya tidak siap. "Mas," Nara akan menyentuh tangan Rajendra namun Rajendra segera mundur.
Mati gue, batin Nara meringis.
"Saya bilang apa tadi? Hati-hati!" Ucapan Rajendra memang tidak dengan nada tinggi namun nada datar dan penggunaan kata 'saya' itulah yang membuat Nara merinding. Sejak saat itu, ini kali pertama Rajendra menyebut dirinya 'saya' saat berbicara dengan Nara. Fix, Rajendra marah besar.
Nara mencoba memasang wajah memelas dan melirik Kirana serta Chandra dengan penuh permintaan bantuan, "Aku hati-hati Mas Rajen tapi hari sial siapa yang tau?" ujarnya pelan.
"Kamu selalu gak mau mendengarkan apa kata saya, Nara. Saya merasa gak berguna jadi tunangan kamu," ekspresi Rajendra benar-benar tidak bisa Nara tebak dan Nara sungguh takut. Kini pandangan Rajendra beralih pada Chandra dan Kirana."Kenapa gak ada yang kasih tau Adam?" Tanyanya datar.
Kirana berdeham, bahkan Kirana saja tampak gentar apalagi Nara. "Dam, kamu kan ada acara penting dan kita semua gak mau kalau kamu panik. Niat kita baik Adam," Kirana mencoba memberi pengertian.
"Santai Kak, Nara juga gak papa. Gak ada yang parah," Chandra menambahkan namun sepertinya itu tidak membantu sama sekali.
"Gak ada yang parah kamu bilang? Bagaimana dengan ini semua ha?" Rajendra lalu menyusuri pandangannya menyeluruh, head to toe, seolah sedang pengkajian fisik pada pasiennya. "Kamu gak anggap saya tunangan kamu Nara?" Tanyanya tiba-tiba setelah mengamati kondisi Nara.
Nara yang mendengar itu kontan panik hingga membuatnya bergerak tidak sadar dan luka-luka di tangannya nyeri, "AW!" Nara langsung merapatkan mulutnya saat tidak sengaja menjerit. Sial, toleransi nyerinya sangat rendah.
"Baik-baik saja begini?" Walaupun tatapan Rajendra tampak khawatir namun sama sekali tidak tergerak untuk memeluk Nara seperti biasa.
"Dam, tadi sudah diperiksa lengkap sama Dokter Arion. Hasilnya mama bawa dan semuanya baik-baik aja, tenang ya?" Kirana kini mengelus punggung Rajendra yang nampak naik turun akibat emosinya.
"Periksa ulang," katanya dingin.
Nara melotot, ini Rajendra gila apa ya? Sepertinya kepintaran Rajendra menurun drastis, "Mas Rajen yang bener aja! Gak mau!" Nara menggeleng, rasa takutnya menghilang digantikan rasa sebalnya. "Mas kan dokter pasti taulah gak bisa segampang itu. Lihat aja hasilnya udah!" Lanjutnya.
"Membantah Nara?"
"Iya! Lebih baik Mas Rajen keluar aja, disini malah buat aku takut sama pusing!" Nara menjerit tertahan. "Bawa hasilnya," dia juga menunjuk amplop besar coklat di meja.
"Oke! Saya gak tau kalau ternyata saya gak seberarti itu di hidup kamu," Rajendra menggelengkan kepalanya dan melenggang pergi.
Nara menatap kepergian Rajendra dengan tatapan menyesal, lalu dia mengeluarkan air matanya. "Mama!" Nara merengek dan dipeluknya Kirana dengan erat. "Aku kasar ya?"
Kirana mengelus punggung Nara dan tersenyum, "Adam khawatir sekali sama kamu. Sampai dia terlibat bodoh gitu tapi tenang aja. Dia sayang sekali sama kamu, tunggu aja ya?"
Nara mengangguk.
Memang ini pertama kalinya Rajendra menunjukkan kemarahannya, bahkan saat Nara dengan teganya menyakiti Rajendra pun dia hanya tersenyum tipis. Nara jadi sampai pada satu kesimpulan, Rajendra tidak apa jika itu dia yang kesakitan asal jangan Nara. Dan Nara sungguh menyesal, harusnya dia memeluk dan menenangkan Rajendra bukannya ikut mengamuk tidak jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall In Love
General FictionFall in love Love And become a lovers Pernahkah kalian mendengar kalimat ini? Love enters a man through his eyes, woman through her ears, kutipan oleh Polish Proverb. Lalu, pernahkah kalian jatuh cinta? Jika iya, apa yang pertama kali membuatmu jatu...