Saat lulus dari SD dengan nilai yang bagus. Nara diberi hadiah oleh mamanya sebuah kalung yang berbandul namanya, waktu itu ia sangat senang sekali karena mendapat hadiah. Sehingga kemana-mana ia selalu memakainya, menurutnya itu ialah kalung keberuntungannya.
Pagi ini saat bangun dari tidur, ia baru tersadar bahwa kalung yang diberikan ibunya itu tidak ada di lehernya. Entah kapan hilangnya ia baru menyadari padahal biasanya ia selalu ingat dimana ia meletakkan kalung itu. Sudah di cari di laci dan dimanapun tempat yang kemungkinan ia meletakkan kalung itu tetapi tidak ketemu juga.
"Haduh dimana sih kalungnya?" Tanyanya pada diri sendiri yang masih sibuk membuka laci-lacinya.
"Kalau sampai hilang bahaya nih, itu kan berharga benget buat gue," katanya yang mulai berkaca-kaca.
Tokk tokk tokk
"Bentar!"
"Siapa sih ganggu aja," gerutu Nara yang langsung mengusap matanya yang berkaca-kaca.
"Lama deh! Ngapain aja sih?" Semprot Tante Sis setelah Nara membuka pintunya.
"Nyari kalung aku,Tan!" Jawab nara yang mulai menitikkan air matanya namun dengan cepat ia seka.
"Kalung yang mana?" Tanya Tante Sis.
"Yang dikasih mama, yang kalung keberuntunganku itu loh Tan, yang bandulnya namaku!" Balas Nara yang sudah menitikkan air matanya lagi. Kalung itu sangat berharga sekali karena kalung itu ialah saksi bisu perjuangannya sampai di sini. Tidak bisa dibayangkan kalau sampai kalung itu hilang.
"Udah dong jangan nangis. Ada paket buat kamu itu di depan!" Kata Tante Sis menunjukkan paket yang dibawanya. Nara mengernyitkan dahinya tanda ia bingung karena setahunya barang yang dipesan baru akan datang seminggu lagi.
"Dari siapa Tan?" Tanya Nara menerima paket yang diserahkan Tante Sis.
"Gak ada nama pengirimnya," balas Tante Sis yang membenarkan posisi tasnya.
"Oh ya udah Tan, mau aku buka didalam aja!" Kata Nara.
"Ya udah Tante pergi dulu!" Kata Tante Sis sambil melambaikan tangannya kepada Nara.
Nara menutup pintunya setelah Tante Sis hilang dari pandangannya. Ia meletakkan paket itu di atas kasurnya, ia masih bingung memikirkan siapa gerangan orang yang mengirimkan paket ini. Kalaupun yang datang itu paket pesanannya pasti tertera nama pengirim dan juga kotaknya tidak sekecil ini karena ia memesan sepasang sepatu, tidak mungkin sepatu sekecil ini.
"Apa ya isinya?" Tanya Nara pada dirinya sendiri. "Buka aja deh!"
Setelah dibuka, betapa terkejutnya Nara mengetahui bahwa paket itu berisi kalung berbandul namanya, miliknya. Ia mencari-cari jika ada surat atau apa pun itu yang memberikan petunjuk tentang si pengirim. Setelah mencari-cari ia menemukan secarik kertas berwarna putih yang berisi sebuah tulisan. Langsung saja ia membaca tulisannya;
Punya kamu, saya menemukannya di toilet waktu pertama kali kita bertemu.
"Di toilet? Pertama kali ketemu? Siapa?" Tanya Nara pada diri sendiri mencoba untuk mengingat ingat. Saat berhasil mengingat, betapa terkejutnya Nara mengetahui bahwa orang yang mengirimkan paket itu ialah Rajendra.
"Gak mungkin kalau itu Om Rajendra, secara dia kan orang yang gak pedulian. Masa dia sampai mau susah-susah ngirim paket kayak gini segala. Tapi kan orang yang gue temuin pas di toilet itu kan cuma Om Rajendra. Gue harus tanya langsung sama dia, iya gue harus tanya langsung," gumam Nara. Ia segera mengambil peralatan untuk mandinya. Saat akan mengambil handuk ia tersadar percakapan semalamnya dengan Rajendra.
"Kayaknya kita gak bakal ketemu lagi, aku juga gak mau ganggu om. Ini pertemuan terakhir jadi aku gak akan ngomelin om!" Kata Nara pada Rajendra.
"Kenapa?" Tanya Rajendra lagi dengan nada sangat datar dan dingin.
"Kenapa apanya sih om? Aku kan tadi udah bilang kalau aku gak mau ketemu om lagi, gak mau ganggu om lagi. Jadi om senang kan gak bakal aku ganggu lagi, ya walaupun beberapa hari kita kenal sih," balas Nara lagi panjang lebar. Rajendra sekarang hanya bisa terdiam. Entah apa yang sedang ada di pikiran Rajendra sekarang Nara tidak tahu.
"Hallo om, kenapa diem aja sih?" Kata Nara sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Rajendra.
"Oh iya kan Om Rajendra udah biasa diem kayak gini. Dia kan patung berjalan," gumam Nara cekikikan yang masih terdengar oleh Rajendra. Rajendra yang mendengar gumaman Nara pun langsung melirik Nara dengan tajam membuat Nara yang mendapat lirikan tajam dari Rajendra langsung bungkam seribu bahasa.
"Suer deh om. Aku cuma bercanda juga!" Kata Nara mengacungkan dua jarinya.
"Saya antar!" Ajak Rajendra tanpa menunggu Nara ia langsung pergi untuk membayar makanan.
"Gue ditinggal lagi deh,"
"Om tunggu!" Kata Nara berlari kecil menghampiri Rajendra yang tengah membayar makanan. Setelah membayar mereka langsung menuju ke mobil dengan Rajendra di depan sedangkan Nara mengikuti di belakangnya seperti seorang ayah dengan anaknya.
Rajendra yang terlihat tampan dan dewasa dengan kemeja yang digulung sampai siku sehingga memperlihatkan otot bisepnya yang besar tetapi tidak sebesar otot Agung Hercules sedangkan Nara tampil cantik hanya dengan kaos polos yang membuat ia masih terlihat seperti anak-anak.
Setelah sampai di mobil, Rajendra masih membungkam mulutnya. Nara yang sudah hapal dengan kelakuan Rajendra pun hanya diam saja tidak ada niatan untuk protes sama sekali. Percuma saja ia protes kalau hanya dianggap angin lalu oleh Rajendra.
Keheningan menyelimuti mereka berdua. Perjalanan kali ini terasa begitu lama karena diliputi kecanggungan itu. Padahal saat tadi berangkat saja tidak secanggung ini. Nara merasa Rajendra berubah setelah membicarakan tentang pertemuan mereka, Rajendra menjadi lebih dingin seperti saat pertama kali mereka bertemu. Padahal Nara rasa bahwa Rajendra sudah sedikit berubah tetapi kalau memang dasarnya dingin seperti itu pasti juga akan kembali lagi.
Sampai mobil sampai di kost Nara pun mereka masih diliputi dengan keheningan. Entah kenapa mereka seperti enggan untuk berpindah posisi. Rajendra masih diam menatap fokus ke depan sedangkan Nara masih asik sendiri dengan lamunannya.
"Sampai kapan?" Rajendra yang pertama kali membuka suara menjadikan lamunan Nara buyar seketika. Nara menolehkan kepalanya sehingga berhadapan langsung dengan Rajendra.
"Apanya?" Tanya Nara mengernyitkan dahinya bingung tidak mengerti kemana arah pembicaraan Rajendra.
"Disini," balas Rajendra singkat padat dan jelas.
"Apa sih om? Yang jelas dong!" Sahut Nara yang masih belum connect dengan pertanyaan Rajendra. Rajendra yang mendengar pertanyaan Nara pun menghembuskan napasnya kasar.
"Sampai. Kapan. Di sini?" Kata Rajendra sambil menekankan kata.
"Om ngusir ya?" Tuduh Nara memelototkan matanya.
"Jangan lupa apa yang kamu bilang!"
"Oh iya, pertemuan terakhir?"
"Hm,"
"Oke deh om, aku keluar ya," kata Nara tanpa menunggu balasan dari Rajendra. Meninggalkan Rajendra bersama kesunyiannya untuk yang kedua kali.
Nara menghembuskan nafasnya kasar. Untung saja ia mengingat pertemuan semalam, kalau ia sampai lupa dan bertanya kepada Rajendra, bisa-bisa ia hanya dipermalukan saja nantinya.
"Gak penting siapa yang ngirim. Yang penting kalung ini udah ketemu," kata Nara tersenyum bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall In Love
Художественная прозаFall in love Love And become a lovers Pernahkah kalian mendengar kalimat ini? Love enters a man through his eyes, woman through her ears, kutipan oleh Polish Proverb. Lalu, pernahkah kalian jatuh cinta? Jika iya, apa yang pertama kali membuatmu jatu...