51. Priority

1.5K 106 10
                                    

Cinta itu suatu hal kompleks, datangnya tidak tertebak begitupun objeknya. Kadang cinta bisa menjadi begitu jahatnya. Nara sadar, setidaknya jika dia belum mencintai Rajendra dengan benar. Dia juga harus memperlakukan Rajendra dengan benar dan sesuai porsi masing-masing.

Chandra masih menguasai hatinya sekarang, itu fakta dan benar. Namun Chandra jelas kalah jauh di belakang Rajendra. Bukan mengenai fisik atau harta, tetapi tentang effort. Rajendra mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu, Nara menerima Rajendra memperjuangkan perasaannya terlebih dahulu dan seharusnya Nara bisa menempatkan prioritasnya. Walaupun kini dia tahu cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, Chandra sama menyukainya. Namun Nara tidak boleh egois, waktu Rajendra belum genap sebulan dan Nara sudah melakukan banyak keegoisan.

Berbohong beberapa kali pada Rajendra.

Memeluk Chandra di hadapan Rajendra.

Mengatakan hal-hal yang tentu tidak akan disukai oleh orang yang mencintainya.

Memprioritaskan Chandra.

Seharusnya Rajendra berhak marah, Rajendra berhak kecewa padanya, bahkan membencinya. Rajendra berhak namun dia tidak. Dia selalu tersenyum walaupun seringnya tersenyum sedih. Nara seharusnya tidak tutup mata kalau Rajendra begitu tampak mencintainya. Bagaimana Rajendra menatapnya, bagaimana Rajendra berkata padanya, dan bagaimana sikap Rajendra selama ini padanya.

Jika dipikir-pikir, selama ini pun Rajendra bersikap baik padanya. Bahkan sebelum pengungkapan perasaan itu, Rajendra itu tsundere. Nara menyadarinya, saat Rajendra memeluknya, saat Rajendra melindunginya, dan saat Rajendra bahkan ada disisinya saat dia sakit.

Seharusnya Nara sadar lebih awal.

Seharusnya dia tidak egois hanya memikirkan perasaannya sendiri tanpa memikirkan perspektif Rajendra.

"Dia emang suka kerja tapi akhir-akhir ini dia jadi lebih sensitif, lebih gila, lebih kelihatan pendiam. Tapi karena saya sahabatnya, saya tau dia sedang sedih. Kalian ada masalah?" Tanya Dokter Vero yang duduk di sofa pada Nara yang duduk di kursi samping bed Rajendra.

Nara memandang wajah Rajendra yang tampak pucat dengan lingkarang hitam yang terlihat buruk. Nara mengalihkan pandangannya pada tangannya yang menggenggam tangan Rajendra. "Iya." Jawab Nara singkat kemudian.

Vero mengangguk, menatap bergantian sahabatnya dan Nara lalu menghela nafas. "Adam itu, pertama kali saya lihat dia 'gila' karena perempuan. Saya tahu Nara, sejak awal. Bahkan sebelum kamu menyadarinya saya tahu," Vero berkata dengan serius. Mereka sudah berteman sedari kecil. Dia, Adam, dan Ale memiliki cita-cita yang berbeda namun berakhir memiliki satu profesi yang sama dengan spesialisasi yang berbeda. Adam mengambil spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, dia mengambil Obstetrics And Gynaecology, dan Ale yang mengambil psikiatri. Mereka bekerja di satu rumah sakit yang sama, Rumah Sakit Adam. Sama seperti namanya, Rajendra Pradipta Adam. Cucu tertua Magda Pradipta Adam, pemilik Rumah Sakit Adam dan jajarannya. Vero yakin, Nara bahkan belum tahu mengenai itu.

"Oh ya? Aku pernah tanya ke Mas Rajen, dia bilang belum pernah pacaran. Apa itu benar?" Tanya Nara penasaran, jika jawabannya sama mungkin saja memang Rajendra belum pernah berpacaran.

Vero tertawa setelah tadi berbicara dengan serius, "Adam itu, saya yakin seratus persen belum pernah tertarik ke wanita sama sekali. Kamu tau Ale? Yang kemarin di pasar malam. Pasti tau ya kalau kita bertiga berteman. Mau bagaimanapun Adam yang paling ganteng dan banyak duitnya jadi dia pemenang soal materi, tapi soal cinta." Vero menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dia nol besar. Sekalinya mencintai eh yang dicintai setengah mati malah cintanya sama orang lain. Dia syok kenapa rasanya tertolak bisa sesakit itu," Vero masih tertawa dengan volume sedang. Mengingat harinya belakangan ini karena Rajendra membuat Vero ingin kasihan dan tertawa.

Fall In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang