TCV 32 | Si Pencuri Kecil

245 28 0
                                    

TCV 32 | Si Pencuri Kecil

"Sepertinya kau salah mencuri, bodoh." Bocah itu menatap Sophia tidak percaya, Sophia melepaskan lengan kiri si bocah yang meremas pundaknya. "Kau pasti mengira ini adalah artefak penyembuh kan? Kau mengira ini adalah Apollo bukan?" Tebakan Sophia yang tepat sasaran membuat si bocah mengangguk kecil, ia kini terlihat lemas sampai-sampai jatuh berlutut di hadapan Sophia, seolah kesal lantaran usahanya berakhir sia-sia.

Sophia mengulurkan tangannya, mengerti bahwa Sophia ingin menyentuh artefak yang digenggamnya, bocah lelaki itu akhirnya memberikan artefak tersebut kepada Sophia. "Lihat ini," Sophia menyentuh ukiran batu melengkung pada artefak itu. "Bentuknya memang sedikit mirip dengan artefak Apollo. Tapi, yang satu ini memiliki permata kuning mendekati jingga, sedangkan Apollo memiliki permata jingga, ukiran keduanya juga berbeda. Selain itu terdapat lengkungan pada artefak ini bukan?" Mendengar penjelasan Sophia, si bocah lelaki mengangguk kecil. "Itu karena artefak ini memiliki kembaran, artefak serupa dengan sisi cembung yang akan melengkapi lingkaran artefak satu sama lain. Kau pasti tidak mencari tahu sebelum mencuri yah." Bocah di hadapan Sophia kini terlihat semakin frustasi, seolah ia tidak memiliki banyak waktu untuk terjebak dengan kebodohan yang dirinya sendiri ciptakan.

"Apa fungsinya," tanya anak itu sambil mendongakan kepalanya menatap Sophia.

"Saat Kekaisaran Euthoria masih berdiri, kaisarnya dulu pernah menjadikan seorang gadis dengan berkah dewi sebagai permaisurinya. Gadis itu tidak bisa menyembuhkan orang lain, namun bisa mengambil rasa sakit mereka dan menyembuhkan dirinya sendiri dari rasa sakit itu. Artefak ini meniru kemampuannya."

"Memindahkan rasa sakit," Sophia membuat mata bocah tersebut berbinar. "Kalau begitu ini sudah lebih dari cukup," ujarnya percaya diri.

"Tapi kau tampaknya tidak memiliki semua persyaratan yang ada," jawab Sophia pelan. "Persyaratan? Apa karena itu tadi tidak berfungsi?" Sophia mengembalikan artefak di tangannya dan mengelus surai pirang keemasan di hadapannya ini yang sudah bersih dan mengeluarkan harum citrus yang kuat.

"Harus dilakukan di malam dengan cahaya bulan dimana dua orang yang akan bertukar rasa sakit memiliki takdir yang saling mengikat kuat satu sama lain. Seperti kepedulian mutlak, biasanya ikatan seperti keluarga atau kekasih. Apa yang paling penting adalah, kedua artefak di genggam dan diletakan di jantung masing-masing. Sisi cembung oleh si pemilik rasa sakit dan sisi cekung oleh si penerima rasa sakit. Dengan kata lain, orang yang akan menerima rasa sakit adalah orang yang disayangi si pemilik rasa sakit, si penerima juga harus memiliki perasaan yang sama dengan si pemberi. Artefak ini, menyiksa kedua penggunanya." Kini bocah itu menunduk, memikirkan perkataan Sophia dengan keras.

"Tidak masalah selama si pemberi tidak mengetahuinya?" Sophia menyentuh dagunya dan membuat bocah itu kembali menatap dirinya. "Dasar dari pertukaran adalah kejujuran dan pengorbanan. Tidak bisa dilakukan selama masih ada kebohongan dalam prosesnya." Sophia akhirnya bangkit dari posisi duduknya. Gadis itu melirik jam, berjalan menuju tempat tidur sambil membaringkan tubuhnya.

"Aku akan tidur sebentar, mataku terasa sangat berat. Tia tolong bangunkan aku saat makan malam, aku akan makan malam dengan tamuku," pinta Sophia sebelum mulai terlelap. Efek obat yang mungkin diberikan Elowen saat Sophia pingsan mulai bekerja, Sophia tidak kuasa menahan rasa kantuk yang datang. Selain itu, tenggorokannya juga masih sangat sakit.

Bocah lelaki itu berjalan mendekati Sophia namun dicegah oleh Tia yang masih terus memberi jarak secara paksa kepada tamu sang nona.

Ia kini menatap Sophia yang tertidur di tempat tidurnya dengan begitu tenang. "Siapa namanya?" Tanya bocah lelaki itu kepada Tia. "Jika nona tidak menanyakan namamu, itu artinya nona tidak ingin bertukar identitas denganmu," Tia berkata dengan tegas. "Apa dia selalu membantu orang seperti ini?" Tanya bocah lelaki itu lagi. "Tidak! Nona kami bukanlah orang yang murah hati kepada sembarangan orang. Ia hanya baik pada orang yang layak," bocah lelaki itu tersenyum kecil memandangi Sophia.

"Dia menyelamatkanku..."

"Dia, cantik sekali," gumam si bocah yang membuat Tia langsung berdiri di depannya untuk menghalangi pandangan. "Tidak sopan, memandangi seorang lady yang sedang tertidur," Tia berkata dengan tegas, namun si bocah lelaki hanya tersenyum.

"ELOWEN!" Panggil Tia cukup keras yang membuat Elowen langsung masuk ke dalam ruangan. "Obati Nona kembali, ini sudah dua jam sejak obat terakhir diberikan," Tia masih tidak mengalihkan pandangannya dari si bocah kurang ajar yang terus mencoba menatap nona kecilnya.

Elowen buru-buru mengambil keranjang obat dan mengobati luka Sophia dengan hati-hati. "Jika ini meninggalkan bekas, aku akan mencekik gelandangan itu sampai lehernya putus!" Elowen memperingatkan begitu selesai mengobati luka sang nona.

"Sepertinya, nona yang kau bilang tidak bersikap baik dengan cuma-cuma, memperlakukan kalian dengan sangat baik sampai-sampai sikap kalian seperti ini." Ucapan si bocah lelaki membuat Elowen mendekat dan meremas kera bajunya karena kesal. "Untung saja aku mencegah nona melukai dirinya hanya agar kau selamat. Bocah kurang ajar sepertimu tidak akan pantas menerima karunia dari nonaku!" Elowen yang sangat kesal hampir saja memukul tamu sang nona.

"Ikut aku, kau harus bersiap untuk makan malam. Jangan ganggu tidur singkat nona!" Tia mendorong si bocah yang tanpa penolakan mengekorinya.

'Semua orang disini, seolah memuja si nona.'

'Mengapa demikian?'

'Ini pertunjukan yang cukup menyenangkan.'

Waktu makan malam pun tiba, Sophia datang ke ruang makan dengan mengenakan gaun hitam berenda tipis pada kedua sisi lengannya. Sang tamu yang sudah duduk di kursinya menatap Sophia selama beberapa saat lantaran terpaku dengan penampilan sang nona.

"Kau pasti menunggu lama, karena pelayanku baru membeli barang baru, ia jadi ingin memakaikan semua benda padaku," Sophia melirik Elowen yang tersipu malu. "Kita bisa mulai makan malamnya," hidangan mulai disajikan.

Sang tamu yang duduk bersebrangan dengan Sophia dari jarak yang cukup jauh menatap makanan sang nona yang sebagian besar adalah sup cream. Selera yang unik adalah hal yang terlintas di benaknya.

Sophia juga melirik tamunya.

Mengundang makan malam? Jangan harap. Sophia tidak suka makan malam dengan orang lain. Hal itu hanya akan membuat pencernaannya terganggu. Namun Sophia perlu memastikan sesuatu. Apakah sosok di hadapannya yang jelas tidak akan mengungkapkan identitas aslinya ini adalah seorang pencuri nekat biasa atau seseorang yang tidak pernah disadari kehadirannya? Pencuri bodoh mana yang berani mencari gara-gara dengan bangsawan besar? Terlebih, dia mengetahui letak artefak yang bahkan penemuannya tidak diumumkan secara publik.

Karenanya, Sophia harus memastikan identitas anak lelaki di hadapannya. Cara makanmu akan menunjukan siapa dirimu sebenarnya.

Sophia menarik sudut bibirnya tipis saat sang tamu merahi pisau dan garpunya untuk memakan steak. Peralatan makan yang dipilih dari jajaran peralatan makan yang disediakan sangatlah tepat, cara memotong steak dan meminum airnya menunjukan etiket kelas tinggi. Ia memiliki tata krama seorang bangsawan.

'Bocah ini...'

'Adalah bangsawan...'

Namun siapa dirinya masih belum Sophia ketahui. Sosok yang bisa menembus pertahanan dari kesatria D Armstrong jelas bukanlah orang biasa. Entah mengetahui kastil keluarga itu dengan sangat baik, sampai-sampai bisa dengan mudahnya mencuri artefak dan melarikan diri. Atau sosok yang memiliki kemampuan tertentu yang sulit dijelaskan.

Mata bersinar yang sebelumnya Sophia lihat, mungkin bukanlah kekeliruan.

'Aku sangat ingin memanfaatkannya.'

'Karena mungkin saja dia bisa membawa Apollo sungguhan padaku.'

'Artefak paling berharga yang pernah diciptakan.'

'Apollo.'

~

Jangan lupa tinggalkan jejak, agar saya semakin semangat up yah ;)

Vote + Comment + Follow

The Crowned Villain'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang