TCV 106 | Keputusan Acuh

252 26 0
                                    

TCV 106 | Keputusan Acuh

"Dia menari saat sendirian rupanya." George yang melihat potret-potret Sophia yang di lukis diam-diam tersenyum puas. Gadis itu selalu membuatnya terpukau dan terkejut setiap waktunya.

"Dia juga diam-diam berlatih pedang saat malam sedikit lebih hangat." Gumamnya lagi saat melihat potret Sophia yang tengah berlatih pedang. George tersenyum saat melihat potret Sophia duduk di kusen jendela sambil membaca buku. Dia juga menatap lekat-lekat potret Sophia saat gadis itu tengah melukis di sebuah kertas berukuran sedang, sayangnya tidak terlihat lukisan apa yang tengah dibuat gadis itu.

Kemudian ada satu potret yang di remas oleh George, karena rasa kesal yang tiba-tiba datang menghinggapi hatinya. "Dia menari untuk orang lain?" George mengepalkan tanganya penuh amarah. "Harusnya aku yang pertama menyaksikan tariannya. Hanya untukku dia boleh menari!" George terlihat tidak senang.

"Nona Sophia cukup akrab dengan lady Drechsler. Hanya akan memancing amarah beliau jika Anda mengunjunginya karena hal ini." Kesatria sekaligus sekretaris George yang berdiri dengan setia di sisi pria itu memberi pendapat.

"Aku tidak perlu kesana dan memberikan alasan baginya mendapatkan keinginannya untuk terlepas dari gelar bangsawan. Untuk menyingkirkan hama tidak berguna itu, tanganku tidak perlu kotor bukan?" George kembali menatap potret Sophia yang menari dengan indah penuh senyuman–disaksikan oleh lady Drechsler yang terlihat sangat bahagia pada momen tersebut.

Egy, kesatria George itu mengeluarkan selembar kertas dan meletakkannya di atas meja George. Sepertinya pria itu sudah menduga reaksi amarah tuannya, sampai-sampai sudah menyiapkan sebuah catatan yang akan menenangkan sang tuan.

"Lady Drechsler memiliki kondisi tubuh yang lemah. Penyakit yang dideritanya akan membunuhnya tidak lama lagi." Melihat catatan itu senyuman pada bibir George mengembang.

"Bahkan Tuhan pun mendukung diriku!"

"Kalau begitu kita tidak perlu mengganggu orang yang akan segera di panggil menghadap Tuhan." Putus George.

"Tentu Tuanku."

"Aku benar-benar tidak sabar. Seperti apa rupanya dalam empat tahun lima bulan mendatang?" George menatap potret Sophia yang memandangi langit sendirian. Seolah ikut terhipnotis, George tidak bisa melepaskan pandangannya dari Sophia.

Seolah familiar dengan semua tingkah laku yang dilihatnya dari potret-potret itu. Seolah dirinya bisa membayangkan dengan jelas semua kegiatan Sophia. Seolah ia pernah menyaksikan sendiri dengan mata kepalanya.

Padahal semua itu tidak lebih dari sebuah potretnya semata...

***

"Jadi, tolong jelaskan, 'alangkah baiknya jika dia tidak mati, tapi walaupun dia mati tidak apa-apa'? Sebenarnya Anda ingin dia mati atau hidup?" Irman kian frustasi.

"Seperti yang kubilang, aku tidak begitu tertarik. Eksistensinya tidak akan begitu menguntungkanku dan kematiannya juga tidak begitu mempengaruhiku meski akan mendatangkan keuntungan bagi Hannover. Mau disingkirkan sekarang pun kita belum cukup memiliki kuasa. Jadi yasudah... Toh meski merugikan, tidak seburuk itu juga." Perkataan Sophia hanya membuat wajah Irman kian gusar.

"Kalau begitu tidak perlu buang-buang tenaga dan waktu kan?" Killian mengambil kesimpulan.

"Yah, begitulah," Sophia tampak setuju dengan kesimpulan Killian. Di masa lalu pun, pengganti penerus Wolfenbuttel pada akhirnya mendukung George. Akan ada cara lain ketika Sophia memiliki kekuasaan lebih untuk mengatasinya, bertindak saat ini hanya akan merugikan diri. Sophia juga tidak ada minat menyelamatkan sang penerus asli karena tidak ada catatan bahwa pria itu akan membawa keuntungan, dalam garis takdir apapun yang dirinya ketahui, ia selalu mati jadi tidak ada testimoni bagus mengenai kehadirannya. Skenario yang tidak terduga akan membuat Sophia merasa tidak tenang, tidak begitu memperdulikan eksistensinya adalah sebuah kebijakan bagi Sophia.

The Crowned Villain'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang