TCV 103 | Raja dan Ratu Serasi
"Apa maksud Anda saya melakukan pelanggaran dalam masa hukuman saya dan pantas untuk dilaporkan? Duke Muda Hannover?" George tersenyum manis mendengar ucapan Sophia. Pria itu mendekat dan mencondongkan tubuhnya pada Sophia–memandangi wajah Sophia dengan intens sambil menelisik setiap sudut wajah Sophia secara seksama.
"Sepertinya Lady kehilangan banyak berat badan. Padahal sampai beberapa bulan lalu Lady berhasil menambah berat badan Lady." Ujar George dengan nafas panas yang bisa Sophia rasakan menerpa wajahnya.
"Saya akan mengirimkan persediaan untuk Lady, saya akan sediakan yang terbaik agar Lady bisa merasa nyaman berada di tempat ini. Ah mengenai dana untuk pembangunan sekolah. Bahkan meski Lady menggunakan tabungan pribadi, pasti semua dana Lady telah habis. Biaya untuk membeli furniture bukanlah dana yang sedikit, saya akan pastikan furniture sekolah kecil miskin itu akan memiliki kualitas yang tinggi. Dengan begitu Lady akan merasa nyaman beraktivitas di tempat suram ini." Lagi, George tersenyum seolah hal itu bukanlah hal berat baginya sambil berpura-pura sopan padahal sikapnya pada Sophia terbilang seenaknya.
Dia mengubah gaya bicaranya sesuka hati.
Menjengkelkan sekali...
Malam ini Sophia akan muntah, bukan karena makanan namun karena perbincangan yang saat ini dirinya lakukan.
"Anda akan mengirimkan persediaan, menyediakan furniture dan berniat terus mengunjungi saya?" George kembali tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban.
Salju menggulung seperti hamparan kapas, memeluk tanah dan ranting-ranting kering. Angin dingin menggigit, membuat napas George berubah menjadi kabut tipis di udara. Namun, bukan dingin yang membuatnya terpaku. Di depannya, Sophia berdiri di antara pohon-pohon pinus yang membeku, mengenakan jubah bulu putih yang hampir menyatu dengan lanskap bersalju di sekeliling mereka.
Wajahnya tenang. Bibir merahnya melengkung dalam senyuman tipis yang menghantui—bukan senyum hangat, melainkan sebuah isyarat penuh teka-teki. Mata merahnya bersinar lembut, seperti api kecil yang menyala di tengah badai. George, terperangkap dalam pesona itu.
Sophia menyentuh kedua tangan George, menggenggamnya seolah membagi kehangatan dari sentuhan. George jelas terpaku akan tindakan Sophia. Ia merasa hangat—aneh dan damai, seakan semua sensasi dingin di wilayah ini menguap begitu saja dalam sentuhan kecil Sophia.
Namun, semakin ia menatap senyum itu, semakin ia merasakan ketidakberesan. Ada sesuatu yang mengendap di balik ketenangan Sophia. Sesuatu yang salah.
George mulai menyadari betapa dalam ia telah jatuh ke dalam perangkap. Senyum Sophia bukanlah cerminan rasa syukur—itu adalah senyuman seorang ratu yang tahu dirinya menang. Sebuah senyuman yang disengaja, dihitung, dan diletakkan dengan hati-hati seperti bidak terakhir dalam permainan licik.
"Jadi... ini semua sudah Anda duga?" Gumam George, suaranya rendah dan serak. Ia merasakan kebohongan seperti es yang mencair, merembes pelan ke dalam dirinya—terlambat untuk menyesali atau berbalik.
Sophia tidak menjawab, hanya memiringkan kepalanya sedikit, seolah memaksa George tenggelam dalam kepahitan. Angin berhembus, menggoyangkan jubahnya.
"Anda sudah tahu sejak awal saya akan datang ke sini, bukan?" George menyipitkan mata, ia balik mencengkram tangan Sophia dengan kuat.
Sophia tetap diam, namun senyuman itu tidak pernah goyah—seperti bayangan samar yang tertanam dalam mimpi buruk seseorang. Itu bukanlah ekspresi lemah, melainkan selebrasi kemenangan.
George mengatupkan rahang, perasaan marah menyatu dalam dadanya. "Sepertinya, Putri dari Brunswick tidak menyukai hukumannya... Kau mencoba memanfaatkanku untuk mendapatkan hukuman maksimum?" Katanya getir.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crowned Villain's
Historical FictionKetika kau yang merupakan seorang penjahat sejati, harus berpura-pura menjadi protagonis demi menghindari akhir tragis. Banyak cerita mengenai seorang protagonis yang masuk ke dalam tubuh penjahat wanita. Perubahan karakter sang penjahat, menarik ke...