TCV 94 | Jejak Memori

268 36 5
                                    

TCV 94 | Jejak Memori

Kepedihan mendalam dapat membuat kepala seseorang tertunduk. Kepedihan itu biasanya datang ketika cinta hadir, tapi beberapa orang tidak cukup beruntung, mereka tidak punya harapan pada cinta. Cinta keluarga, romansa, bahkan cinta terhadap diri sendiri.

Bisa dibilang, harapan adalah kekuatan untuk bergembira di dalam situasi yang menyesakkan. Terlihat suram, hari itu adalah hari penuh harapan yang sangat suram. Namun, terkadang beberapa orang tetap berpegang pada harapan, menipu dengan kalimat, 'hari esok akan menjadi lebih cerah.'

Adelaide Aurelie Bonaparte, adalah sosok yang seperti itu.

Sophia Chay Brunswick, juga seperti itu.

Kedua gadis ini memiliki satu kesamaan.

Mereka, sangat mengerti nilai kehidupan. Menjunjung tinggi kehidupan yang telah diberikan dan memujanya seolah hanya itulah yang mereka miliki.

Aurelie dan Sophia memiliki harapan yang besar dalam benak mereka. Mereka jenis manusia yang bekerja keras dalam hidup mereka. Kedua gadis itu bekerja keras dalam hidup untuk bisa hidup. Biasanya, Tuhan akan menyukai hambanya yang menjunjung tinggi nilai kehidupan.

Apa mungkin karena Tuhan terlalu menyayangi mereka? Sampai-sampai terus memberikan ujian tanpa batasan?

Sehina apapun kehidupan yang Aurelie jalani, dia berusaha keras menghadapinya–tidak melarikan diri bagai pengecut yang menyedihkan.

Sesulit apapun kehidupan yang Sophia jalani, dia berusaha keras untuk ikhlas dan menerima kehidupan itu. Dalam batas waktu panjang Sophia berhasil menahan diri dan menjalani kehidupan yang diberikan kepadanya.

Namun...

Apa Tuhan benar-benar menyayangi mereka?

Kehidupan yang diperjuangkan dengan sangat keras, kehidupan yang sangat di hargai dan di agungkan, kehidupan yang diterima dengan hati lapang, kehidupan itu pada akhirnya meninggalkan mereka.

Apa Tuhan menyayangi mereka...?

Aurelie bersujud di dalam gereja, dengan wajah basah penuh air mata gadis itu memohon dengan suara lirih dan serak.

"Aku mohon," Aurelie membenturkan kepalanya ke lantai, cukup lama sampai akhirnya ia mengangkat kepalanya–memandangi salib di depan mata dengan mata merah.

"Tolong ambil satu-satunya yang aku miliki dalam hidupku," Aurelie dengan putus asa membuat gerakan tangan memohon. Tubuhnya terlihat bergetar, lusuh tidak seperti dirinya yang biasa, terlihat begitu anggun dan menawan. Aurelie yang masuk ke dalam keluarga bangsawan selalu menjaga martabat dan juga penampilannya sebagai seorang Bonaparte.

Tidak pernah ia perlihatkan raut wajah putus asanya di depan umum, apalagi dalam kondisi lusuh seperti ini.

"Tolong ambil hidupku," Aurelie memohon. Dengan keputusasaan dan rasa frustasi yang mendalam, Aurelie memohon tanpa henti.

"Kau boleh memberikanku penyakit mematikan atau apapun itu, aku mohon," Aurelie kembali bersujud. "Bebaskan aku," gumam Aurelie dengan suara lirih dan dalam.

"Dari neraka ini." Isakan tangis Aurelie semakin menjadi. Terdengar serak dan penuh tekanan, siapapun akan sependapat bahwa ia telah melewati rintangan hidup yang sangat berat.

"Aurelie?" Aurelie menoleh, bertemu pandang dengan Lily yang baru saja datang dengan memakai pakaian suster sambil memegang kitab di tangannya. Wanita itu tersenyum melihat Aurelie.

"Hidupmu, akhirnya hancur?" Tanyanya dengan suara lembut yang terdengar bagai bisikan iblis.

Aurelie lebih dari tahu bahwa dirinya di tinggalkan oleh kedua orang tuanya saat mereka mengalami kebangkrutan. Padahal pasti ada jalan keluar, kedua orang tuanya hanya terlalu pesimis pada hidup mereka dan meninggalkan Aurelie. Seolah sangat yakin dan percaya diri bahwa tindakan mereka adalah sebuah keputusan paling tepat untuk hidup Aurelie.

The Crowned Villain'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang