TCV 41 | Ajakan Makan Bersama
Sophia mengayunkan pedangnya tanpa ragu. Antara dirinya dan Alexi sudah menjadi salah satu murid terbaik dalam berpedang. Pelatihan mereka selalu menjadi tontonan menarik yang asik untuk disaksikan. Seperti saat ini, Evans tengah bersantai sambil memakan apel di tempat yang teduh sedangkan Sophia dan Alexi tengah saling mengayunkan pedang mereka dengan sungguh-sungguh.
"Bagaimana mereka begitu santai mengayunkan pedang seolah ingin saling membunuh satu sama lain?" Salah seorang kesatria yang memang baru menjadi kesatria pelatihan Brunswick bertanya. "Menyebalkan, Sophia tidak seperti itu saat bertanding denganku!" Keluh Aefar yang juga tengah menonton.
"Bukankah itu berarti nona Sophia tidak ingin melukai Anda?" Aefar melirik dengan sinis. "Tidak! Dia tanpa ragu mengayunkan pedangnya seolah ingin membunuh pada Alexi karena dirinya percaya bahwa anak itu bisa menghindarinya!"
Sophia tidak berhenti, setiap pergerakan dan ayunan pedang Alexi di tangkis dan di serang balik dengan membabi-buta. "Dengan kata lain, nona Sophia tidak cukup mempercayai Anda, benar begitu Tuan? Lagipula, nona Sophia hanya menanggapi Tuan Aefar saat Tuan Aefar memberikan taruhan besar kan." Salah seorang kesatria menimpali—memancing kekesalan yang dirasakan oleh Aefar.
PRANKKK
Salah satu pedang terjatuh, menandakan berakhirnya latihan.
"Aku menang lagi, Alexi," Sophia menyerahkan pedangnya pada Alexi. Pemuda yang telah tumbuh tinggi itu tersenyum, meraih pedang Sophia untuk diletakan di tempatnya. "Bisakah Anda berhenti menggunakan trik saat melawan saya?" Mendengarnya Sophia tertawa kecil.
"Bukankah lebih aneh jika kau terus tertipu dengan trik yang sama secara berulang? Sebenarnya trik apa yang selalu kalian bicarakan?" Alexi menatap sinis ayahnya. "Ini rahasia saya dan nona."
Evans memukul pundak Alexi cukup keras mendengar jawaban anaknya. "Anda akan pergi lebih awal hari ini?" Mendengar ucapan Evans Sophia langsung mengangguk. "Aku akan ke toko pakaian, pakaianku sudah kekecilan lagi," keluh Sophia sambil tersenyum. "Bawalah kesatria Nona," Evans mendorong Aefar.
"Aku sibuk!" Aefar menolak, memasang wajah enggan. "Alexi akan melakukan tes mingguan hari ini, Anda kan sudah di tes kemarin jadi hari ini Anda sangat luang Tuan Muda." Aefar hanya memejamkan matanya sesaat dan berjalan malas. "Baiklah, tidak ada pilihan lain," Aefar berjalan lebih dulu, meninggalkan Sophia.
"Ahhh, kenapa jual mahal begitu sih. Padahal dia merengek padaku karena hanya menyuruh Alexi menemani adiknya. Nona, Anda harus pura-pura tidak mendengar apa yang saya katakan hem?" Sophia tersenyum dan mengangguk, berlalu pergi mengikuti Aefar yang memelankan langkahnya—menyesuaikan dengan langkah Sophia.
Sikap Aefar, memang sudah jauh berbeda...
Terutama sejak kejadian di meja makan beberapa hari lalu.
"Aefar, kapan kita bertaruh lagi?" Aefar menoleh acuh. "Uang sakuku sudah habis, kau hanya mau bertaruh denganku saat aku punya uang kan," Sophia mendegus dan berjalan lebih dulu. "Tidak menyenangkan bermain denganmu jika kau tidak punya uang."
Aefar mengepalkan tangannya. "Kau benar-benar!" Aefar mengejar Sophia dan kembali berjalan di sisinya, menuju kastil tempat Sophia tinggal.
Bersama dengan Elowen, ketiganya akhirnya berangkat dan sampai di toko pakaian.
"Wahh, tinggi Anda bertambah lagi padahal baru beberapa bulan lalu Anda memperbaiki ukuran kan Nona," pemilik toko itu tersenyum ke arah Sophia. Sang pemilik toko bergegas mengukur tubuh Sophia, setelahnya Sophia mulai mencoba beberapa pakaian.
"Kau suka warna hijau kan?" Sophia membuat Aefar yang tengah duduk menunggu mendongak, mengangkat kepalanya untuk melihat Sophia yang tengah mencoba salah satu gaun berwarna hijau. "Sepertinya aku tidak terlalu cocok memakai warna hijau," gumam Sophia sambil memperhatikan pantulan dirinya dari cermin yang ada di sisi kanan Aefar.
Aefar terpaku, memperhatikan Sophia selama beberapa saat sebelum akhirnya menyadarkan diri dan menggeleng kecil. "Tidak terlalu buruk," komentar Aefar sambil kembali membaca buku yang di bawahnya. Bersikap seolah dirinya tidak terpengaruh saat melihat Sophia.
Sophia kembali disibukkan dengan pakaian-pakaian yang dibawakan oleh para pegawai toko untuk dicoba.
"Bagaimana mungkin tidak ada satupun pakaian yang tidak cocok Anda kenakan?" Alya, wanita dengan surai coklat panjang itu mendatangi Sophia sambil menyentuh surai, pundak dan punggung Sophia. "Sebentar lagi Anda akan menjadi wanita yang sangat cantik. Saya tidak sabar menantikannya Nona."
"Apa gunanya cantik jika tidak memiliki kewarasan?" Salah seorang bangsawan tampaknya tengah menggunjingkan Sophia dengan teman-temannya. Nona bangsawan yang tampaknya berusia enam belas tahun itu sesekali melirik Sophia dengan tatapan yang tidak biasa.
"Bagaimana bisa dia bersantai mencoba gaun-gaun cantik sementara saudarinya masih terbaring tidak berdaya karena ulahnya?" Bangsawan lain menimpali perkataan temannya.
Ini bukan kali pertama, meski Sophia sudah berhasil membuat sebagian orang memandang baik dirinya, juga membuat beberapa bangsawan mulai mempertanyakan kebenaran rumor yang beredar. Sayangnya, sebagian besar nona bangsawan masih memandang buruk dirinya. Terlebih Sophia memang tidak mengikuti pergaulan kelas atas sama sekali. Dia bahkan tidak pernah menghadiri satu pesta pun.
"Aku sudah selesai untuk hari ini, terima kasih," Sophia beranjak pergi. Namun, belum melangkah jauh, Sophia ditahan oleh Aefar. "Kau mau kemana? Jika karena mereka kau pergi maka tidak perlu. Kita bisa menyewa satu toko untuk hari ini." Sophia melepaskan lengan Aefar dengan lembut dan menggandeng pemuda itu. "Kita kan belum makan siang," Sophia menggandeng Aefar keluar dari toko. Meski tidak terima, Afear pada akhirnya menurut.
"Hal seperti ini sering terjadi?" Tanya Aefar ketika mereka berjalan menyusuri toko-toko untuk mencari restoran. "Tentu saja tidak, aku kan jarang keluar," Aefar melirik genggaman tangan Sophia yang masih menggandengnya sambil diam-diam tersenyum.
"Lain kali, aku akan menyewakan toko agar kau bisa bersantai saat membeli pakaian," mendengarnya Sophia mendorong pelan bahu Aefar dengan bahunya. "Katanya kau tidak punya uang?" Aefar memalingkan wajah malu-malu. "Kau percaya omong kosongku? Uangku banyak, lagipula ini balasan untuk hadiah yang kau berikan." Sophia hanya menanggapi dengan menarik sudut bibirnya.
"Nona, saya sudah membeli semua yang Anda butuhkan," Elowen yang datang menghampiri keheranan saat melihat sang nona berjalan sambil menggandeng Aefar. Meski sudah membaik, hubungan mereka tidak seakrab itu, Elowen mengetahuinya dengan jelas. Meski begitu, Elowen tetap mengekori keduanya.
"Kita makan di restoran yang sering kau datangi," langkah Sophia seketika terhenti, gandengannya pada Aefar sampai terlepas. "Aku rasa kita harus kembali," gumam Sophia sambil memalingkan wajahnya—menatap kereta kuda yang tadi digunakannya bersama Aefar.
"Kau..." Aefar teringat dengan kejadian beberapa hari lalu saat mereka makan bersama. Selain saat memakan apel bersama Evans, jika diingat-ingat Aefar memang tidak pernah melihat Sophia makan satu kali pun.
"Raimund sering makan di kastilmu kan? Boleh aku juga makan di sana?" Tanpa dijelaskan pun, Sophia tahu betul bahwa Aefar ingin mencari tahu mengenai trauma Sophia secara langsung. Karena dialah yang mengetahui apa yang dilakukan para pelayan, namun berlagak mengatasi situasi tanpa melaporkan pada sang ayah.
Aefar berpikir, bahwa setelah ia memergoki dan mengintrogasi tiga pelayan Sophia, mereka mungkin masih melakukan hal-hal keji pada Sophia dan dirinya yang tahu tidak mengambil langkah yang lebih tegas.
Berlagak menangani situasi dengan ancaman dan makian, khas seorang bocah yang besar kepala.
"Jangan salah paham, jam makan siang kan sudah lewat, jelas di kastil utama tidak akan ada makanan." Aefar masih menantikan jawaban dari Sophia.
"Tapi mungkin tidak akan cocok dengan seleramu," balas Sophia masih tanpa menatap Aefar. "Mencoba saja belum, sudah bicara demikian." Aefar langsung berjalan menuju kereta kuda dan menaikinya.
'Konyol sekali' Sophia ikut menghampiri Aefar dengan menyembunyikan senyuman di bibirnya.
~
Jangan lupa tinggalkan jejak, agar saya semakin semangat up yah ;)
Vote + Comment + Follow
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crowned Villain's
Historical FictionKetika kau yang merupakan seorang penjahat sejati, harus berpura-pura menjadi protagonis demi menghindari akhir tragis. Banyak cerita mengenai seorang protagonis yang masuk ke dalam tubuh penjahat wanita. Perubahan karakter sang penjahat, menarik ke...