TCV 86 | Myth
Tepat setelah Sophia memanggil nama Killian, suasana menjadi riuh seketika. Pemimpin kelompok Akuji itu rupanya jauh lebih populer dari yang dikira. Kelompok Akuji memang dikenal sering kali menyerang bangsawan korup, beberapa rakyat menganggap kelompok Akuji sebagai kelompok pembela rakyat kecil.
Nyatanya kelompok itu memang memanfaatkan perselisihan antara bangsawan dan menerima bayaran untuk pekerjaan kotor yang mencelakai sesama bangsawan lain dalam hal perebutan kekuasaan dan sebagainya.
Satu citra yang diketahui umum yang pasti adalah, kelompok itu tidak menyerang rakyat kecil.
Meski faktanya, klan itu terlibat dalam sindikat perbudakan, meski tidak menangkap langsung, mereka adalah pengawal dan kurir pengirim barang dagang milik serikat dagang.
Kemunculannya dalam ingatan sang nona keluarga Brunswick dalam persidangan jelas membuat suasana sidang kembali tidak terkendali. Beberapa rakyat kecil mulai mempertanyakan kejelasan bukti-bukti dalam persidangan.
Ricuh sempat semakin menjadi, hingga persidangan harus ditunda. Namun, sang ketua hakim berhasil mengendalikan situasi dan kembali melanjutkan sidang.
Sayangnya...
Ada bagian yang tidak bisa di ulang kembali–ujar si pengendali ingatan.
Bagian itu adalah, kesepakatan Sophia dan Killian.
Kini proyeksi ingatan menampilkan Sophia yang duduk di tepi tebing dekat air terjun–memandangi hutan dari dataran tinggi. Memikirkan berbagai jawaban atas pertanyaan yang tidak bisa dipecahkan.
"Aku tidak kunjung menemukan tempat penyimpanan artefak itu," gumam Sophia sambil duduk, meluruskan kakinya yang masih terasa nyeri dan kebas. Gadis itu kembali memandang hamparan pohon rindang dalam hutan yang tidak terjamah.
"Itu karena aku berpikir sebagai pencari harta karun," gumam Sophia pelan. Sophia mengeluarkan peta yang disimpannya di sela lapisan pakaian. Gadis itu membentangkan peta dan melihat titik-titik yang sempat dirinya perkirakan sebagai tempat penyimpanan. Hasilnya nihil, beberapa memang merupakan bangunan persembahan namun–tidak ada apapun selain sisa-sisa peradaban yang di telan alam.
"Jika aku adalah penyihir," Sophia bergumam, membentangkan lebar-lebar petanya dan mencari titik paling mustahil yang bisa dirinya temukan. "Tempat yang akan terpikirkan..."
"Jika aku adalah penyihir," gumam Sophia lagi, sayangnya gadis itu akhirnya menggigit bibir bawahnya.
"Ahhh bagaimana caranya berpikir menjadi seorang penyihir? Padahal berinteraksi dengan mereka saja tidak!" Sophia hanya pernah satu kali bertemu penyihir, ketika dia sempat menduga bahwa dirinya memiliki kemampuan sihir, akibat reaksi batu sihir terhadap tubuhnya. Setelahnya ia tidak lagi pernah berinteraksi. Sophia kemudian menyingkirkan peta itu dalam pandangannya–menaruhnya ke sisi kanannya.
Hembusan angin terasa begitu sejuk, menyapa Sophia seolah menyegarkan pikirannya yang mulai kalut.
Srekkk
Sophia tersadar akan satu kecerobohannya, gadis itu melirik sisi kanannya dimana peta yang dibawanya tertiup angin dan melayang di udara–mengarah pada air terjun besar yang tidak jauh dari posisinya.
"Wahh aku baru saja kehilangan peta yang susah payah Tia dapatkan," Sophia menghela nafas. Tidak ada yang gadis itu lakukan, kakinya sangat sakit bahkan jika hanya digerakkan sedikit. "Aku terlalu malas untuk mengejarnya," Sophia masih memasang tatapan suram ke arah peta yang melayang tertiup angin.
Sophia mengalihkan pandangannya, kembali menatap hamparan hutan di bawah sana, tidak lagi memperdulikan peta yang sudah menjauh darinya. "Toh sudah ku hapal," gumam Sophia dengan nada malas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crowned Villain's
Historical FictionKetika kau yang merupakan seorang penjahat sejati, harus berpura-pura menjadi protagonis demi menghindari akhir tragis. Banyak cerita mengenai seorang protagonis yang masuk ke dalam tubuh penjahat wanita. Perubahan karakter sang penjahat, menarik ke...