Mataku terbuka dengan pandangan berkunang-kunang. Ku pegang kepala yang begitu sakit ini sambil memandangi kembali tempatku berbaring. Ruangan yang sama saat terakhir kali aku terbangun di kastil ini. Namun lebih gelap dari sebelumnya. Padahal aku yakin di luar matahari sedang bersinar terang. Terlihat dari jendela itu.
Perlahan-lahan, aku membangunkan diri dari ranjang itu. Menapakkan kaki pada lantai yang terasa berguncang. Berusaha kucoba mencari keseimbangan. Berpegangan pada setiap benda yang tersentuh dan berjalan keluar kamar dengan langkah yang pelan.
"Noona sudah bangun?" Sosok yang menjadi tersangka utama pembuat kepalaku berdenyut ini menyapaku. Kulihat samar-samar pada sudut ruangan yang tak kalah gelap meminimalisir jarak pandangku.
Mengetahui mataku yang kesulitan melihat, dia menyalakan beberapa lilin di ruangan tersebut tanpa pemantik atau korek api. Hanya dengan sebuah petikan jari dengan angin yang sempat terhembus menyentuh beberapa helai rambutnya. Layaknya sulap.
"Aku tidak bisa menyalakan semuanya. Nanti orang-orang lebih mudah mencari keberadaan kastil ini." Ucapnya.
Aku menunjukkan wajah bingung. "Bukan karena kau tidak suka cahaya?"
"Aku ini vampire. Bukan kelelawar." Jawabnya sambil memanyunkan bibir. Jika ruangannya cukup terang, pasti dia akan terlihat lebih lucu, seperti anak kecil. Aku menanggapinya dengan tawaan.
"Apa noona lapar? Mau makan?" Tawarnya. Aku pun baru tersadar dengan sesuatu yang ada di tangannya. Sesuatu yang dia seruput secara perlahan-lahan.
"Ma-makan?" Gugupku. Diam-diam aku menyentuh area leherku. Dia menunjukkan seringaian.
"Mau? Ini masih sangat segar. Baru diambil dari sumbernya." Bulu kudukku merinding. Meski tidak menemukan bekas luka apapun di area tengkukku, itu sama saja tidak mengurangi rasa takutku. Apalagi melihat minuman yang berwarna merah berbau amis itu.
Dia tertawa kencang. "Noona tenang saja. Ini bukan milik noona. Ini darah ayam."
"Ayam?" Ulangku. Bukankah vampire hanya minum darah manusia?
"Wae? Noona maunya aku minum darah noona? Nanti kalau habis, aku tidak punya teman lagi." Candanya. Tapi bagiku, candaan itu terdengar seperti peringatan. Sama sekali tidak lucu.
Dia tertawa kencang. "Bercanda. Noona serius sekali. Aku tidak mungkin minum darah manusia, apalagi punya noona. Itu sungguh dari ayam. Itu wujudnya ada di dapur."
"Noona bisa masak kan? Bumbunya sudah lengkap tersedia. Noona bisa masak apapun untuk perutmu." Katanya lagi sambil menikmati setiap tetes darah yang diminumnya.
Kuabaikan candaan menyeramkannya itu untuk memastikan keberadaan ayam yang menjadi korban penghisapan darahnya. Dan benar, di meja tersebut ada sebuah ayam yang tidak lagi bernyawa. Masih berbulu tapi tidak ada luka sayatan. Jika dari pasar, bulunya pasti sudah dibersihkan.
"Darimana kau mendapatkan ini?" Tanyaku di sela-sela memandangi ayam tersebut. Bingung harus membersihkan darimana.
Chan tiba-tiba saja berpindah didekatiku dengan cepat. Meletakkan gelas yang sudah kosong dan bibirnya yang masih berlapis darah. Mengisyaratkan tanganku untuk menjauh, lalu membakar ayam itu begitu saja dengan api yang entah keluar darimana. Menghilangkan bulu yang tadi menjadi kebingunganku.
Ini udah matang belum ya?
"Dari hyung. Entah hyung mendapatkannya darimana. Tapi aku yang minta hyung membawakan ayam agar bisa dimakan noona." Jawabnya.
Vampire punya hyung? Bukankah katanya vampire hidup sendiri-sendiri? Apa itu salah lagi? "Hyung yang vampire juga?" Tanyaku.
"Tentu saja. Jika manusia asli, dia tidak mungkin masih bernyawa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Outcast Castel
FanfictionDahulu ketika para vampire masih menguasai kota, kami hidup dalam kegelapan yang diselimuti darah kawanan kami sendiri. Hidup dengan ketakutan dan bau darah yang menyebar di penjuru kota. Namun itu sudah ratusan tahun berlalu. Kini para manusia ting...