Hati yang Beku

318 68 8
                                    

Aku membuka mata perlahan-lahan. Samar-samar aku bisa melihat bayangan langit-langit gelap penuh dinding batu. Kepalaku terasa sedikit berat. Tanganku juga terasa kaku seakan sudah tertidur cukup lama.

Aku masih ingat penyebab tubuhku yang kaku ini. Aku ingat jelas dengan tajamnya jarum es yang menancap di tubuhku. Rasa sakit dan dingin yang menyengat itu. Aku sangat ingat perih yang menjalar di seluruh tubuhku. Apalagi di ulu hati ini.

Perlahan-lahan, aku menyentuhnya. Belum tersentuh pun, sakitnya telah terasa. Tapi sakit lain di tangan dan juga wajahku sudah hilang. Adakah yang menyembuhkanku?

"Kau sudah sadar?" Suara terkejut itu mendapat perhatianku, tapi aku tidak bisa mencari pemilik suara tersebut karena keterbatasan gerak ini, hingga sosok yang tidak pernah kuduga, muncul di depanku.

"Hatimu tidak membeku lagi? Siapa yang menyembuhkannya?"

Aku membuka mata lebar mendapat kehangatan ini. Suaranya sangat kental akan perhatian. Aku rasa, aku masih berada di dalam mimpi. Mustahil makhluk sedingin itu berlaku demikian, apalagi dia membenciku.

Jihoon menepuk dan menyatukan kedua tangannya. Mengulum bibir sembari memejamkan mata sejenak sampai aku dengan jelas mendengarnya berkata, "Gomawo," penuh dengan rasa syukur.

Aku makin melongo di tempat. Apa saja yang kulewatkan?

Dia membuka matanya kembali. Dengan wajah antusias, tiba-tiba dia membungkuk dan menghadapkan wajahnya tempat di depanku dengan jelas. Raut dingin itu benar-benar kandas.

"Apa ada yang kau butuh, kan?" tanyanya lembut.

Bibirku terbuka. Aku hanya melafalkan huruf A yang lemah, tapi Jihoon sudah pergi sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Lalu dia datang membawa pesanan yang kumaksud dengan benar.

Tangannya menyentuh kepalaku dan bantu mendekatkan gelas itu ke bibirku. Aku masih tidak percaya jika vampire dingin ini mau membantuku minum. Namun, ketika permukaan bibirku baru menyentuh air, tangan yang menopang kepalaku di lepas. Aku yang belum siap, jadi membenturkan bagian belakang kepalaku ke kasur keras ini. Aku meringis.

"Apa aku sudah boleh menyentuhmu?" Dia bergumam sendiri. Matanya kalut melihat wajah dan juga perutku. "Kau sudah sembuh, bukan? Minum sendiri saja, ya."

Walau dengan nada perhatian, tapi kesan dinginnya masih melekat. Aku sedikit yakin jika ini masih Jihoon, si vampire dingin itu.

Aku mengambil gelas yang dia ulurkan. Dengan masih posisi berbaring, aku coba menggerakkan sedikit tubuhku ke arah samping. Ringisan menghiasi bibirku selagi menenggelamkannya ke air segar ini. Di samping itu, Jihoon hanya memperhatikanku yang minum dengan susah payah.

Kurasa itu lebih baik daripada dia yang tiba-tiba berubah perhatian. Memang perubahan ini bagus, tapi terasa mengerikan. Tidak ada orang yang berubah baik secara tiba-tiba dalam waktu satu hari.

Selesai melakukan dua tegukan, aku membanting tubuhku lagi ke posisi berbaring. Menahan nyeri yang sangat kental di rautku. "Sakit yang menyerikan," gumamku asal. Hanya untuk mengeluarkan isi pikiran.

Tapi orang di sebelahku memberi reaksi yang berbeda dengan kata, "Mianhae."

Aku otomatis menengok. Untuk orang yang dingin, kata maaf itu sangatlah mengejutkan. Aku tau seberapa sulitnya mengucapkan maaf untuk orang dengan tipe sepertinya. Terlihat jelas dari sikapnya yang kini membuang muka.

Aku tidak berniat membalas. Tidak juga berani mengeluarkan suara. Aku membiarkan suasana di antara kamu tetap sunyi dan canggung karena aku pun tidak tau apa dia sudah selesai bicara atau belum. Jika aku merespons terlebih dahulu ucapan maafnya, aku yakin, dia tidak akan mengatakan tujuan jelas dari maaf itu.

Outcast CastelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang