Setiap kali aku menghadapi masalah, hal pertama yang kupikirkan adalah sebuah kematian. Sama halnya dengan para penderita depresi lainnya. Bisa dikatakan, depresiku ini masih ringan karena baru dialami setelah aku kehilangan halmoni dan semua hal di dunia itu menyerangku dengan berbagai hal negatif.
Namun sejak bertemu dengan Seokmin, seorang pengidap gangguan mental yang sama, depresiku terkadang bisa pamit begitu saja. Meski muncul sesekali, tapi setiap mengingatnya, perasaan buruk itu hilang. Aku seakan memiliki kekuatan dan kepercayaan bahwa aku juga bisa sepertinya. Sembuh tanpa obat dan orang-orang psikiater yang harus dibayar mahal hanya untuk sekali pertemuan dalam beberapa jam.
Meski begitu, bagaimana aku bisa pergi dari perbatasan ini, sedangkan vampire besar di depanku hanya menatap diam tubuhku yang basah kuyup karena siramannya. Beberapa kali es dari tubuhku coba melindungi, tapi setiap kali itu juga vampire ini menghancurkannya.
Sekarang aku baru tau sumber terbentuknya es ini. Saat aku merasa ketakutan atau ancaman, kekuatan ini beraksi secara alami untuk melindungiku. Jadi aku tidak perlu memikirkan apa-apa karena dia hanya bekerja setiap kali aku ketakutan.
"Kau punya masalah denganku?!" Harusnya aku yang mengatakan itu, batinku.
Dia melihatku dengan tatapan kesal, tanpa mengerti jika aku sudah ketakutan berada pada dimensi perbatasan yang dihadapkan dengannya.
"Berhenti membuat benteng! Tidakkah kau lihat tubuhku juga hampir hangus?!" omelnya.
Jadi dia ingin membantuku? Perasaan takut itu hilang. Es itu pun tidak lagi kembali. Aku mendongak dan melihat kulit di wajahnya sudah hangus terbakar.
Dia mendengus dan langsung menarik tanganku kasar menuju area yang terasa sejuk dengan hamparan angin lembut. Tapi kenyamanan itu tidak berlangsung lama. Setelah menarikku, vampire ini belum begitu saja meloloskanku. Dia langsung mendorongku hingga tercebur ke dalam sungai.
Tubuhku sepenuhnya lebih basah dari sebelumnya. Aku hampir saja mengumpat karena perlakuan kasar tersebut. Namun bibirku terkatup melihat vampire yang tadi berdiri tegap, sekarang tersungkur di tanah dengan tubuh yang masih mengeluarkan asap. Kulihat beberapa cidera layaknya luka bakar di sekujur kulit yang terlihat oleh mata. Terdengar erangan dari bibirnya.
Itu pasti sangat sakit, pikirku tanpa tau harus melakukan apa-apa. Dibanding denganku, kulitku tidak jadi hangus karena benteng perlindungan itu.
Kenapa aku jadi merasa bersalah?
Aku coba memercikkan air sedikit demi sedikit pada tubuhnya. Berharap itu bisa meredam sedikit rasa sakit yang terasa. Tapi..
Bukankah vampire tidak merasakan sakit?
"Siram aku!" perintahnya dengan suara agak lemah.
"Ne?" Aku tidak yakin dengan pendengaranku tadi, tapi tangan ini bergerak untuk memberinya air. Menyiramnya seperti tanaman yang kekeringan.
Perlahan tapi pasti, asap dari tubuhnya menghilang. Bekas luka bakar yang dideritanya pun berangsur memudar. Hingga tangannya mengisyaratkan diriku dapat berhenti melemparkan air.
Penyembuhan yang secepat kilat itu, sesekali mengundang decak kagum pada diri sendiri. Andai aku bisa melakukannya, maka kulitku mungkin bisa terbebas dari sisik akibat kepanasan tadi.
Aku mengusap-ngusap lenganku pelan sambil melihatnya. Dia terbangun dan meregangkan tubuh seakan baru saja bangun tidur. Wajahnya tampak cerah dan segar. Lalu dia pun menengok ke arahku.
"Jika kau tidak terus ketakutan padaku, mungkin kita berdua tidak harus menderita seperti tadi," katanya sambil mendekat.
"Joesonghamnida," ungkapku dengan wajah cemberut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Outcast Castel
FanfictionDahulu ketika para vampire masih menguasai kota, kami hidup dalam kegelapan yang diselimuti darah kawanan kami sendiri. Hidup dengan ketakutan dan bau darah yang menyebar di penjuru kota. Namun itu sudah ratusan tahun berlalu. Kini para manusia ting...