Tetap Tidak Mau

339 81 7
                                    

"Kenapa tidak?" Aku bertanya dengan wajah bodoh. Sudah jelas dia tidak mau, karena pasti dia tidak percaya denganku.

Dia membentangkan tangan bersama sayap lebarnya. Membuat dedaunan yang gugur berserakan di dekatnya, beterbangan kala sayapnya terbuka mengibaskan angin kencang. Sekilas, penampilannya terlihat begitu mewah dan anggun seakan dialah penguasa daerah ini.

"Lihatlah aku!"

Aku sudah melihatnya dari tadi. Bahkan tanpa diminta.

"Aku punya fisik terhebat saat ini. Aku tidak cepat menua. Aku tidak mudah sakit dan punya kekuatan yang luar biasa. Aku bisa melakukan apapun yang sebelumnya tidak bisa kulakukan. Apa aku punya alasan untuk meninggalkan kehidupan ini?" katanya dengan nada yang penuh kesombongan. Tapi kesombongannya itu memang benar. Aku pun tidak dapat mengelak dan hanya diam saja mendengar narasinya.

"Aku bisa bergerak ke mana pun aku mau." Kakinya mulai terangkat. "Terbang dan bergerak dengan cepat sampai tidak seorang pun bisa melihat kepindahanku."

Setelah dia berkata demikian, tubuhnya benar-benar menghilang termakan angin. Tubuhku sedikit terpelanting karena angin yang berhembus dengan kencang itu. Mataku perih. Dadaku pun sesak, tidak dapat bernapas di antara debu pasir yang beterbangan.

Aku terus terbatuk-batuk sampai pusaran angin itu berhenti. Anehnya, aku tidak merasa terintimidasi meskipun posisi saat ini seperti menggambarkan penyerangan.

Tanganku meraba-raba tapak tanah sampai menemukan genangan air dan membasuh wajah agar mataku dapat dibuka kembali. Air yang segar telah menyelamatkanku. Aku pun bernapas lega setelah pernapasanku bersih.

Sepasang kaki sudah bertengger kokoh di depan mataku. Memamerkan kaki jenjang yang tertutup celana panjangnya. Aku mendongak dengan wajah basah tak berdaya. Tapi dia juga tidak bergerak sambil menyembunyikan tangannya di belakang punggung.

"Apa penjelasanku sudah cukup?" Tanyanya dengan tenang. Aku mengangguk-angguk.

Aku pun jika diberi kekuatan dan fisik seperti ini, tidak bisa menolak dan membuangnya begitu saja. Dilihat dari mata kosong pun, siapapun tentu menginginkannya. Tapi..

"Bagaimana aku bisa lanjut jika tanpa kalian? Aku sudah pernah hampir hangus terbakar karena ceroboh melewati benteng yang hyung kalian buat. Bagaimana jika aku nekat pergi, tubuhku benar-benar tidak tersisa?"

"Biarkan saja. Memang itu tujuanmu mau bertemu kami kan?" Dia berjongkok dan berkata dengan mudahnya.

Wajah polos itu ternyata menyimpan kebegisan. Hatinya sungguh dingin. Inikah bentuk vampire yang sesungguhnya?

"Kau bekerja untuk mereka. Menerima syarat tidak masuk akal untuk datang membunuh kami. Itu artinya kau sudah siap terbunuh sejak awal karena pada dasarnya, kau juga tau tidak mungkin melawan kami," katanya.

Benar. Aku memang sudah menerima konsekuensi mematikan itu dan sejak awal aku tidak berharap lebih bisa keluar hidup-hidup dari hutan ini. Tapi..

"Aku berubah pikiran. Aku tidak mau mati sekarang."

"Terus?" Dia berjongkok untuk menyejajarkan wajah kami. "Mau kapan? Biar aku jadwalkan dalam agendaku."

Ekspresiku tidak bisa lagi menyembunyikan rasa ketidaksukaan padanya. Alisku menikuk tajam. Tatapanku mendatar. Bibirku membentuk garis dengan rahang yang mengeras di dalam. Tanganku terkepal menyentuh rerumputan.

Mengetahui kemarahanku, vampire di depanku ini memberikan seringaian yang membuatku kian jengkel. Ingin sekali aku menyiramnya saat ini. Jika bisa ditusuk dengan es saja sekalian biar mati dua kali.

Outcast CastelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang