Malam telah berganti. Langit yang dipenuhi awan hitam pun kini sudah berubah biru terang dihiasi awan putih yang masih tipis. Namun Seokmin tetap di sini denganku. Di tengah hutan tempat terakhir insiden kebakaran tidak disengaja itu terjadi.
Kami tidak pergi. Sayap Seokmin terbakar. Tapi bukan itu yang jadi masalah.
Aku menatap Seokmin dengan tatapan khawatir. Mengingat obat depresi yang kutemukan semalam, membuatku agak gusar dengan tatapan kosongnya saat ini. Matanya tidak henti menatap abu dari pohon besar yang terbakar kemarin. Sesekali aku juga dapat mendengar helaan napas yang membuat bulu kudukku merinding. Suhu dingin selalu terpancar saat dia melakukan itu.
Diam-diam aku melihat sayapnya. Hanya terbakar sedikit. Tapi terlihat parah untukku. Aku ingin coba menyentuhnya, tapi takut Seokmin merasa sakit. Alhasil tanganku hanya meraba-raba udara di dekat sayapnya.
Merasakan hawanya, Seokmin akhirnya menengok ke arahku untuk berkata, "Gwaenchana. Sebentar lagi itu akan sembuh. Rasanya tidak sesakit melihat pohon yang kurawat baik-baik, hangus karena perbuatanku sendiri."
Menyakitkan. Bukan aku yang merasakan, tapi aku bisa mengerti kesakitan yang dimaksud. Sesayang itu Seokmin pada pohon ini. Seberharga itukah pohon ini?
Seokmin menghembuskan napas. Sebuah embun dingin keluar dari bibirnya seakan di dalam tubuhnya sedang mengalami musim dingin. Tidak lama setelah vampire itu puas menghela napas, dia mengulurkan tangan dan mengucap puncak kepalaku.
"Tidak perlu sekhawatir itu. Ini bukan pertama kalinya aku kecewa pada diri sendiri." Dia berusaha tertawa di depanku.
Sudah cukup. Aku tidak tahan melihatnya berpura-pura di depanku. Aku menjauhkan kepala dari usapan itu. Wajahku memberikan ekspresi nanar menahan kesal.
"Kau memintaku tidak menyembunyikan apapun, tapi kau sendiri terus pura-pura baik di depanku. Berhenti sekarang juga! Sekarang katakan semuanya padaku. Semua beban dan tekananmu. Katakan semua dan bagi denganku. Kau tampak menyedihkan jika begini." Omelku. Tanpa sadar, diriku yang menangis di hadapannya. Padahal, bukan aku yang seharusnya menangis.
Melihatku menangis tersedu-sedu, Seokmin justru menertawakanku. Aku mengomel, dia makin tertawa. Kita jadi saling bertukar suara mana yang lebih kencang, sampai aku bisa berhenti menangis dengan sendirinya.
Memalukan. Padahal aku yang marah-marah, tapi aku juga yang menangis. Aku menyeka air mata dengan perasaan malu terpendam.
"Kenapa kau menangis?" tanyanya. Masih cekikikan dengan rasa geli saat melihatku. Jengkel. Aku tidak berniat menjawabnya dan hanya fokus mengusap mata.
"Dengan kau menangis karena memikirkanku, aku jadi lebih lega." Aku masih diam. "Walau tidak tau kenapa kau menangis, tapi aku senang ada yang menangis untukku. Itu bisa menyalurkan perasaan sesakku."
"Bukankah akan lebih baik mengeluarkannya sendiri?"
Seokmin menjawabnya dengan mudah. "Seorang pria tidak boleh menangis, tidak boleh mengeluh, dan harus kuat."
Tidak ada yang salah. Tapi rasanya pasti tertekan jika pikiran yang tertanam seperti itu. Belum lagi Seokmin terlihat layaknya pria berperasaan lembut.
Untuk menghilangkan suasana canggung, aku coba menukar topik pembicaraan ini. "Pohon itu, apa begitu berharga untukmu?"
Dia mengangkat bahunya. "Tidak juga. Hanya saja, pohon itu jadi temanku satu-satunya di sini. Dia yang tau seberapa lemahnya aku, bahkan sampai ke akar-akarnya. Tapi sekarang kan ada dirimu. Aku hanya tidak percaya jika diriku sendiri yang menanam dan menghancurkannya. Rasanya perjuanganku untuk merawat pohon ini jadi sia-sia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Outcast Castel
FanfictionDahulu ketika para vampire masih menguasai kota, kami hidup dalam kegelapan yang diselimuti darah kawanan kami sendiri. Hidup dengan ketakutan dan bau darah yang menyebar di penjuru kota. Namun itu sudah ratusan tahun berlalu. Kini para manusia ting...