Ceroboh

420 88 11
                                    

Pertama kalinya dalam duniaku yang dipenuhi vampire, insomniaku kembali. Sejak aku berada di hutan penuh vampire ini, pasti ada saja yang membuat mata ini terpejam kala purnama bersinar terang di atas sana. Namun karena pertengkaranku dan Seokmin sore tadi, aku jadi terjaga dengan perasaan tidak enak. Ada rasa ingin meminta maaf, tapi Seokmin tidak kunjung kembali.

Pekerjaanku sejak tadi hanya memandangi langit gelap untuk menemukan sesosok bayangan yang mungkin terlintas di penglihatannya. Harap-harap bukan bayangan vampire lain yang tampak.

Putus asa karena perasaan tidak nyaman, aku memikirkan cara lain untuk pergi dari kastil ini. Beresiko memang. Namun aku tidak bisa tenang jika belum meminta maaf. Tapi..

"Bagaimana caranya aku turun?"

Aku mengeluarkan kepala dari jendela yang berlubang tanpa kaca atau penghalang. Menatap ke bawah sana yang jauh dari jarak tanah. Hanya begini saja, mataku sudah berkunang-kunang. Kastil megah dan besar, tapi tidak punya pintu normal karena pemiliknya adalah vampire, yang datang dan pergi dengan sayap layaknya burung.

Kugaruk-garuk kepala ini yang kebingungan. Menyapu pandangan ke segela arah untuk mencari sebuah benda yang mungkin bisa digunakan untuk turun. Tanganku meraba-raba area gelap yang tidak dapat terjangkau mataku. 

Alih-alih menemukan tali dan sebagainya, kakiku justru menyenggol sebuah benda yang bergelinding jatuh. Memberikan bunyi khas yang sedikit familiar. Aku coba mengambilnya dengan pencahayaan minim dan membawanya ke jendala untuk meminta bantuan sinar bulan.

Mataku sedikit menyipit membaca tulisan yang tertera pada botol kecil itu. Obat Depresi

"Hm?" Aku sedikit bingung. Untuk pada seorang vampire memiliki obat depresi? Kubuka tutupnya. Di dalam sana masih tersisa beberapa butir obat yang sedikit lagi hampir habis. 

Ini obat persis seperti yang ku minum saat aku tidak bisa menerima kenyataan hidupku di masa sekolah menengah. Hanya kemasannya saja yang sedikit lama dan kuno.

Saat itu kehidupanku seakan terbalik 180 derajat. Orang-orang langsung memandangku dengan rendah dan murahan. Tatapan iba sebagian orang, hanya sebagai kamuflase semata untuk mencari perhatian. Mulai sejak itu, masa sekolahku hancur. Orang-orang tidak ada yang memedulikanku dan hanya datang saat membutuhkanku. 

Setiap kali mengingat masa kelam itu, dadaku terasa sakit dan kepalaku akan pusing. Lalu, obat ini pun jadi jalan pintasku agar tetap waras.

"Memaksa seseorang untuk menyembunyikan perasaannya demi kebaikan. Dia memang tidak punya hati."

"Daripada membaca perasaan orang lain, aku lebih ingin orang lain membaca perasaanku. Lelah mengerti orang lain, tanpa dimengerti."

Sepintas aku seakan mengingat ucapan Seokmin saat pertemuan kami. Dia memang sempat mengatakan hal-hal sensitif berbau perasaan, kekejaman, mengerti, dan dimengerti. Apakah mungkin dia meninggal karena hal lain?

Kuleha napas dari tebakanku yang mulai ke mana-mana. Meletakkan obat itu dekat meja di mana aku menyenggolnya tadi. Beralih mengambil sebuah tanaman merambat yang mungkin saja bisa dijadikan tali. Tapi sebelum benar-benar menggunakannya, aku menarik-nariknya terlebih dahulu untuk memastikan kekuatannya. Aku juga tidak mau jatuh dan mati konyol karena ini.

Setelah memastikannya. Aku mengikat ujung tanaman ini pada benda yang berat. Merentangkan sisanya ke bawah hingga menyentuh tanah. Aku memegangi tanaman itu erat-erat. Tanganku berkeringat dan dadaku mulai berlarian. Sepertinya aku menemukan ketakutan lain, yaitu ketinggian.

Dengan tubuh bergetar, aku menuruni tali alami ini perlahan-lahan. Sangat lambat hingga rasanya siput pun akan tertawa senang karena berhasil membalapku. Cukup lama aku bergelantungan pada tali alami ini, hingga kakiku akhirnya bisa berciuman dengan tanah yang kering.

Outcast CastelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang