15 menit. 30 menit. 1 jam. 2 jam. Hingga sekarang mau 3 jam. KATANYA HANYA JALAN SEBENTAR?!!
Kakiku terasa ingin patah. Perjalanan kami pun sangat membosankan tanpa adanya percakapan dan obrolan yang bisa membuat kami sedikit lebih akrab.
Bukan aku yang tidak memulai dan coba mencari pembahasan, tapi vampire ini yang mematahkan semua niat mengobrolku.
Aku frustrasi. Aku tidak tau bagaimana caranya lagi aku bisa membuat vampire satu ini sedikit terbuka padaku. Setidaknya sedikit saja. Dibalas, direspons, dan dijawab singkat pun tidak apa. Selama aku masih mendapat umpan balik.
Tapi ini tidak! Dia tidak mau menjawab pertanyaanku. Bahkan cenderung mengelak. Memang, pertanyaan pertamaku ini sedikit sensitif. Aku sendiri tidak sengaja memperburuk keadaan di antara kami. Namun dia juga yang menyebut dirinya sendiri anak cacat.
Aku cukup terkejut saat dia berkata demikian. Aku sampai tidak bisa berkata-kata dengan penurutan tersebut. Tapi otakku merespons untuk memberi balasan seseorang yang mengajakku bicara. Sayang, efeknya justru membuatku keceplosan.
Sekarang, beginilah adanya. Diam dan senyap. Hanya suara rerumputan terinjak yang terdengar. Menambah kesan menyeramkan pada sisi hutan yang dalam ini.
Perlahan-lahan langkah kakiku melambat. Berangsur-angsur kaki yang melangkah normal, kini kuubah dengan menyeretnya. Tidak bermaksud merusak sol pada sepatu yang kugunakan. Tapi sendiku sudah ingin copot sebentar lagi.
Meski memiliki tubuh yang terlihat muda, sebenarnya usiaku cenderung sudah tua. Walau tumbuh dalam kehidupan keras, fisikku tidak sekuat yang dibayangkan. Aku pikir, ini pasti dampak dari aku yang dulu malas berolahraga. Sekarang aku baru menyesal sudah malas-malasan saat pelajaran olahraga.
Aku mengeluarkan keluhanku. Berteriak pada vampire itu yang berjalan tanpa rasa lelah di depanku. Tentu saja. Dia kan vampire. Memang bisa lelah?
"Arhh!!! Beri aku istirahat! Kakiku tidak kuat berjalan lebih lama lagi," keluhku.
Dia tidak memberi respons dengan ucapan. Tapi setidaknya dia datang menghampiriku dan bukannya meninggalkanku.
"Apa yang kau rasakan dengan kakimu ini?" tanyanya setelah berjongkok di hadapanku.
"Apa maksudmu?" tanyaku balik dengan nada tidak suka.
"Tentu saja aku kelelahan! Semua ototku menegang. Kakiku seperti ingin patah. Aku sudah tidak pernah berjalan selama ini sejak aku berputar-putar kota Seoul untuk mencari pekerjaan," ocehku panjang lebar karena sudah tidak tahan ingin meluapkan segala emosi.
Aku merasa setelah masuk hutan ini, aku lebih banyak mengekspresikan diri. Benarkah begitu? Atau hanya perasaanku saja?
"Biasanya berapa lama sampai kakimu bisa merasakan lelah?" tanyanya lagi dengan pertanyaan yang makin tidak karuan.
"Memangnya kau tidak pernah berjalan jauh sebelum jadi vampire?" balasku ketus sembari sibuk memijat-mijat kaki sendiri.
Dia tampak diam mengamatiku tanpa berniat memberi balasan. Kenapa dia selalu tertarik dengan semua hal berbau berjalan? Dia kan pernah jadi manusia juga. Tentu saja pernah berjalan sendiri.
Apa mungkin hidupnya begitu mewah sampai dia tidak diizinkan berjalan dengan kedua kaki sendiri? Mirip-mirip zaman kerajaan pada komedi situasi, di mana rajanya tidak ingin kakinya menyentuh tanah sehingga meminta para prajurit menggendongnya. Tapi memang ada yang seperti itu?
Aku berhenti memijat kaki. Membuat kedua kaki itu tersilang dan dengan berani menatap matanya. "Kau ini vampire murni atau palsu?"
Karena adegan komedi yang kubayangkan memang tidak mungkin ada, pikiranku pun mengarah pada hal tersebut. Vampire yang memang benar-benar vampire, pasti tidak pernah merasakan namanya lelah berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Outcast Castel
FanfictionDahulu ketika para vampire masih menguasai kota, kami hidup dalam kegelapan yang diselimuti darah kawanan kami sendiri. Hidup dengan ketakutan dan bau darah yang menyebar di penjuru kota. Namun itu sudah ratusan tahun berlalu. Kini para manusia ting...