Sang Pemimpin

302 52 27
                                    

Choi Seungcheol,Panggilan Seungcheol

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Choi Seungcheol,
Panggilan Seungcheol.

Gerbang terakhir.
Posisi ketua dan kakak tertua.
Sang penerus kekuatan api tanpa anak buah.

Anak sulung dari dua bersaudara. Telah menjadi tulang punggung sejak kecil setelah kedua orang tuanya meninggal. Tidak mengeluh dan terus bekerja keras untuk mengemban tanggung jawab yang cukup besar di usianya saat itu. Dia melakukannya tanpa kenal lelah untuk sang adik.

Lalu, tiba-tiba dia terjebak pada tawaran pekerjaan dengan penghasilan yang besar. Tubuhnya berubah jadi makhluk asing yang ditakuti. Dia terpaksa memisahkan diri dengan sang adik. Meski begitu, dia tetap menghidup adiknya. Meninggalkan beberapa kebutuhan setiap malam di depan pintu dan meninggalkan sepucuk surat dengan berbagai kebohongan agar adiknya tidak khawatir. Namun, pada akhirnya sang adik pun tetap mengetahuinya.

Bukan rasa benci karena sudah ditinggal sendiri sepanjang penantian, sang adik justru merasa kesal karena tidak kuat menahan rindu yang lebih besar lagi. Dia pun demikian. Dia sudah lama ingin menemui adiknya, tapi tidak bisa karena berpikir adiknya akan takut pada sosoknya yang sekarang. Dia terlalu menyayangi sang adik sampai tidak ingin kehilangannya jika tau kondisinya yang sudah berbeda.

Karena rasa sayang besar itu, dia tidak punya ego untuk memiliki kekuatan seperti vampire lainnya. Dia hanya punya api yang sudah mengendalikan emosinya dan bisa membuatnya meledak kapan saja.

Dia adalah vampire tangguh yang juga bodoh.
Dan dia adalah oppa-ku.

🍃💦❄🔥

Aku menguras sisa-sisa makanan yang ada di piring. "Ini yang terakhir," ucapku sambil memasukkan suapan terakhir ke mulut Jihoon.

Damai, tenang, dan aman. Kan bagus jika pria ini tidak marah-marah. Diam begini juga membuatnya terlihat lebih menggemaskan. Tugasku pun selesai tanpa perasaan terguncang karena takut menerima omelannya.

Setelah meletakkan mangkuk, tanganku beralih mengambil gelas berisi air putih untuk Jihoon. Aku hendak mengangkat tangannya agar bisa memberitahu letak gelas yang kupegang. Namun, sebelum benar-benar menyentuhnya, aku bertanya pada orang bersangkutan terlebih dahulu. Mengantisipasi telingaku panas karena diomeli. 

"Ini minummu. Mau kubantu mengarahkan tanganmu?"

Jihoon hanya berdehem sambil mengangkat tangannya. Hanya bertanya seperti ini saja, jantungku sudah berdebar. Kesan menakutkan Jihoon benar-benar kental di benakku.

Dengan gugup, aku memegangi pergelangan tangan Jihoon. Meski terlihat imut, tangan Jihoon cukup besar seperti pria pada umumnya.

Sebelum meminum airnya, Jihoon berkata, "Seungkwan tidak menyuruhmu untuk menggantikan perban di tubuhku juga, kan?"

Aku terbengong. "Sepertinya tidak," jawabku ragu-ragu sambil tetap berpikir. Lalu, bertanya balik, "Memangnya tubuhmu ada luka?"

"Kau lupa atau tidak lihat?" tanya Jihoon dengan tajam.

Outcast CastelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang