Karena kemarin adalah pertemuan pertamaku lagi dengan Jaemi, aku pun baru menceritakan semua kisah tidak masuk akal ini dari awal hingga akhir padanya. Meski Jaemi tidak percaya secara utuh pada kisah yang terdengar seperti mitos itu, tetapi dia bersedia untuk tidak menceritakannya kembali pada orang lain. Jaemi sepakat merahasiakannya, walaupun dia sendiri masih bingung.
Pertemuan itu juga sekaligus jadi hari perpisahanku dengannya. Mungkin bukan perpisahan dalam artian selamanya. Hanya berpamitan untuk tinggal bersama ketiga belas pria ini dalam hutan. Namun, tentu aku tidak menggunakan alasan itu. Aku mengatakan ingin tinggal di sana untuk menghindari para penagih hutang dan memulai hidupku yang lebih baik di tempat baru.
Dan sekarang ... di sinilah aku tinggal.
"[Y/N]!! Ayo berangkat!" Teriakan Chan refleks membuatku keluar kamar dengan tergesa-gesa dan meninggalkan begitu saja beberapa pakaian yang belum sempat kurapikan.
Karena tidak mungkin menyapa seisi rumah, aku pun berpamitan pada mereka yang kutemui. Aku tidak mau sampai mendengar teriakan Chan lagi. Meskipun saat berhadapan dengannya, sikap Chan berubah lembut.
"Aku tidak melihatmu sarapan. Di mana kau tadi?" tanya Chan sambil memasangkan helm sepedanya di kepalaku.
"Sarapanku cukup sepotong roti, terus lanjut merapikan pakaian," jawabku. Lalu, menyambar kursi belakang sepeda yang kosong setelah helm terpasang.
Mulai hari ini, aku putuskan untuk membantu Chan bekerja. Menemani pria itu sampai bisa menghafal jalan-jalan Seoul sendiri.
Bantuan ini kuanggap sebagai biaya sewa untuk bisa tinggal di sana. Walaupun mereka membiarkanku tinggal secara cuma-cuma, tetapi aku tidak mau tinggal gratis begitu saja.
Jadi, aku bukan menolong Chan saja, melainkan semua orang yang ada rumah tersebut. Karena itu, aku hanya akan membantu pria ini dari pagi hingga siang hari karena ...
Di tengah kakinya yang mengayuh sepeda, Chan menggodaku, "Jika kau pingsan, kau harus siap kuberi napas buatan."
Aku tidak kuat jika harus seharian bersama Chan dan mendengar banyak modus terselubungnya.
🍃
Ketika jam sudah menunjukkan waktu makan siang, aku akan meminta Chan mengantarkanku ke tempat Seungkwan dan Vernon mencari turis yang ingin diajak berkeliling.
Adil, bukan? Ini juga agar mereka tidak berpikir aku hanya mengutamakan Chan.
Meskipun aku datang untuk menolong Seungkwan dan Vernon, tetapi aku mau membantu mereka jadi penerjemah. Aku memang lebih muda dan hidup di era modern, tetapi aku sama sekali tidak bisa bahasa inggris. Aku di sini hanya untuk menunjukkan tempat-tempat terbaik yang cocok untuk para turis.
Selama aku masih mencari keberadaan kedua orang itu, ada seseorang yang tiba-tiba menepuk pundakku. Aku tersentak dan langsung menengok ke belakang.
"Terkejut, ya?"
Masih tanya? Jengkelku pada sikap Vernon.
Dia terlalu santai dan sikapnya juga sulit ditebak. Terkadang, aku harus hati-hati saat bersamanya agar jantungku tetap baik-baik saja.
"Kau tidak bersama Seungkwan?" tanyaku balik tanpa menjawab pertanyaan basa-basi itu.
"Malas," jawabnya enteng, "Aku lelah mengikutinya. Dia tidak pernah berhenti bicara. Aku juga lelah jika harus menerjemahkan yang ingin dia katakan."
Vernon memberitahu keberadaan Seungkwan yang lumayan jauh dari mereka. Seungkwan terlihat sedang kewalahan untuk memberi penjelasan pada turis asing tersebut. Namun, bibirnya tetap saja bicara dengan bahasa inggris yang acak-acakan. Matanya juga melirik ke sana-kemari dengan kalut sampai akhirnya Seungkwan menemukan keberadaan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Outcast Castel
FanfictionDahulu ketika para vampire masih menguasai kota, kami hidup dalam kegelapan yang diselimuti darah kawanan kami sendiri. Hidup dengan ketakutan dan bau darah yang menyebar di penjuru kota. Namun itu sudah ratusan tahun berlalu. Kini para manusia ting...