Makanan apa yang harusnya kubeli?
Kami berkeliling di kawasan penuh makanan yang sering kukunjungi. Sudah sejam lamanya kami berkeliling, tapi aku belum memutuskan apa yang harusnya kubeli. Karena sudah lama tidak melihat makanan-makanan tersebut, aku jadi ingin mencoba semuanya.
Sesekali kulihat Soonyoung yang menatapku. Mungkin lirikannya itu sebagai kode agar aku lebih cepat memilih. Namun, aku tidak mendengar satu kata protes darinya.
Aku bergumam dan itu menarik perhatiannya untuk melihatku lebih lekat. "Berapa lama kau bisa bertahan dalam keadaan ini?" tanyaku. Aku tidak mau sampai dia kembali ke bentuknya semula dalam keramaian ini.
"Sekitar tiga jam lagi. Tidak masalah. Nikmati waktumu," jawabnya dengan pengucapan yang terdengar terlalu formal dan kaku untuk orang zaman sekarang.
"Lagi pula.." Dia mendekatiku dan tiba-tiba memeluk pundakku. Jantungku hampir lompat karena tindakannya itu. Lalu berbisik, "Aku senang berada di keramaian."
Setelah mengatakan itu, dia melepaskan pelukannya dan menggantinya dengan rangkulan. "Aku sudah tidak pernah ke sini lagi sejak kau membawa adik-adikku."
"Eng?"
Dia mencolek daguku. Lagi-lagi jantungku hendak keluar. "Kau sangat manis jika begini."
Pipiku memanas. Aku menjatuhkan tangannya dari pundakku dan menjauh pergi pada salah satu kedai langgananku yang menjadi pilihan terakhirku, sekaligus alibi untuk menenangkan jantung. Beberapa kali aku menarik napas menggunakan bibirku demi memasukkan oksigen yang terasa makin tipis dan menyesakkan ini.
"Bisa-bisanya aku gugup karena godaan vampire tua itu," umpat kecilku.
"Meski tua, aku tetap tampan. Kau harus mengakui itu." Aku hampir saja mengumpat dengan setiap tindakan tidak terduganya.
"Kau sering ke sini?" tanyanya. Aku menjawabnya hanya dengan anggukan.
"Pantas kau terlihat akrab dengan tempat ini."
Dia terus mengoceh selama kami mengantri. Aku cukup mendengarkan setiap ucapan tidak pentingnya tersebut. Tapi aku menghargai caranya yang tepat agar aku merasa nyaman dengannya. Terkadang aku butuh seseorang yang bawel sepertinya untuk bisa membuka suara. Aku jadi rindu Jaemi.
"Aku rindu tempat seperti ini."
Kepalaku menengok saat kami bersama-sama menyebutkan kata rindu. Dia juga menatapku kembali. Kami saling bertatapan dalam waktu singkat.
"Kenapa? Ada kesamaan yang membuatmu mau melihatku?"
Dia menebak atau mengetahuinya? pikirku.
"Ani. Tidak ada apa-apa." Aku memilih beralih dan tidak mengungkapkannya. Aku tidak mau Jaemi dibawa-bawa ke masalah serumit ini, terutama oleh masalah yang masih kuanggap seperti mimpi.
Akhirnya, kami sampai di barisan depan pemesanan. Aku melihat Soonyoung memperhatikan setiap makanan dengan tatapan lapar. Dia tampak ingin mencoba jajanan jalanan itu, meski tau dia tidak bisa.
Aku pun mengambil inisiatif untuk berkata, "Kau suka yang mana?"
"Kau bukannya tau aku.." Dia berhenti bicara. Matanya segera mengarah pada sang penjual yang sudah memberikan atensinya pada kami. Kepalanya tertunduk lagi untuk melihat jajaran makanan itu. Tidak mungkin dia mengaku tidak bisa memakannya. Sang penjual tidak akan curiga jika dia vampire, tapi mungkin akan tersinggung karena Soonyoung seakan tidak mau memakan makanannya.
Sementara dia menggaruk kepala, bibirnya bergerak memilih odeng. Aku pun membeli odeng tersebut. Aku juga menentukan makanan pilihanku sendiri, lalu membayar dengan uang miliknya yang tidak tau dari mana itu. Karena ini uangnya, aku rasa, aku harus membeli makanan pilihannya, meski dia tidak bisa memakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Outcast Castel
FanfictionDahulu ketika para vampire masih menguasai kota, kami hidup dalam kegelapan yang diselimuti darah kawanan kami sendiri. Hidup dengan ketakutan dan bau darah yang menyebar di penjuru kota. Namun itu sudah ratusan tahun berlalu. Kini para manusia ting...