"Mencari siapa?"
Aku berbalik cepat saat mendengar suara asing yang tiba-tiba muncul itu. Dia bukan Joshua. Aku tidak pernah melihatnya. Tapi jika Joshua sudah menghilang, apakah dia Jeonghan?
Tubuhnya sangat santai terduduk di jendala kosong itu. Dengan bahu bersandar pada sisi kanan, kakinya berayun seakan memperlihatkan pribadinya yang ceria.
"Sia-sia saja jika kau masih mencari Joshua. Dia sudah pergi sejak kau datang ke sini."
Keningku mengerut. Aku masih tidak mengeluarkan suara. Tenggorokanku agak tercekat.
"Selamat datang di kastil megahku." Dia menapakkan kakinya di lantai. Melebarkan tangan dan kembali berkata, "Kastil ilusi yang tidak akan bertahan selamanya."
"Kastilmu?"
Dia mengerang sambil bergumam, "Dasar Joshua menambah pekerjaanku saja."
Lalu kepalanya kembali terangkat dan menatap kedua bola mataku dengan santai. "Iya ini kastilku. Joshua hanya meminjamnya. Dari awal kau dibawa, Joshua juga sudah tidak berwujud."
Dia menunjuk salah satu jari pada tangan kanannya. Aku pun beranggapan bahwa dia bermaksud mengarahnya pada cincin yang berada di jari manisku.
"Harusnya kau lebih rutin memeriksa jumlah berlian yang ada di jarimu itu. Padahal kau hanya bicara sendiri sejak bertemu Joshua, tapi kau menganggap Joshua masih saja menemanimu. Polosnya."
Maksudnya? batinku bingung.
"Kau siapa?" tanyaku.
"Kau tidak mengenalku?" Dia ikut bertanya dengan percaya diri.
Dengan ragu, aku menebak, "Jeonghan?"
Dia membenarkannya sambil memetikkan jari yang tidak berbunyi. Lalu berseru sendiri sembari bertepuk tangan ringan selama berkata, "Ayo sekarang kita mulai pembelajaran!"
Aku memiringkan kepala. Bibirku sedikit membulat dan mata dibuka lebar. Tingkah dan ucapannya menyadarkanku, bahwa aku baru saja merasa diperlakukan layaknya anak TK.
"Karena ini sudah malam dan kau tidak boleh tidur terlalu larut, aku ceritakan tentang kronologi menghilangnya Joshua saja ya." Dia terus mengeluarkan nada bicara seakan aku ini anak kecil. Pipiku mengembung kesal.
"Kau tidak mau? Kalau begitu, kita ganti yang lain." Dia bergumam sambil melangkahkan kakinya mendekatiku. Berputar mengelilingku dengan mata yang terlihat sedang memindai tubuhku.
"Kenapa kau melihatku begitu?" tanyaku dengan suara galak.
Dia menatap lawan bicaramu tanpa ragu. Lalu tanpa pikir panjang, dia berkomentar, "Tidak ada hal menarik yang bisa kubahas darimu."
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mendesis. Apa haknya mengomentariku? Memang aku tidak cantik. Aku sadar itu, tapi jangan diingatkan.
"Kecuali.." Dia melihat ke arah dadaku. Refleks aku menyilangkan tangan dengan memelototinya marah.
"Jangan berpikir aneh-aneh dulu ya. Aku tidak mesum," tegurnya. "Hal yang paling menarik darimu hanya kalung itu."
Kepalaku sontak menunduk ke arah kalung yang dimaksud. Tidak lain dan tidak bukan, pastinya kalung pemberian Jaemi. Jimat yang katanya bisa melindungi diriku.
Ketika mengingatnya, aku baru berpikir kembali. Ucapan Jaemi terbukti sekarang. Aku masih tidak yakin, tapi aku memang masih aman dari para vampire hingga saat ini. Apa benar kalung ini yang melindungiku?
Tanganku mengusap-usapnya pelan kalung tersebut. Tidak menggunakan kekuatan sedikit pun karena tidak mau merusak benda berharga milik keluarga Jaemi. Memangnya kalung ini terbuat dari apa sampai bisa menjagaku dari pada vampire? Aku masih berpikir sendiri sampai vampire di depanku kembali bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Outcast Castel
FanfictionDahulu ketika para vampire masih menguasai kota, kami hidup dalam kegelapan yang diselimuti darah kawanan kami sendiri. Hidup dengan ketakutan dan bau darah yang menyebar di penjuru kota. Namun itu sudah ratusan tahun berlalu. Kini para manusia ting...