"Menurutmu apa?"
Aku berpikir sejenak tanpa arah dan tujuan di otak terdalamku. Lalu dengan asal, aku menjawab, "Tingkat berjuang setelah ditinggalkan."
Joshua terkekeh kecil. "Sedikit sesak saat diibaratkan seperti itu. Tapi tidak salah juga."
"Aku tidak bermaksud begitu," ucapku dengan suara kecil. Entah kenapa aku merasa bersalah setelah melihat ekspresinya. Padahal mimik Joshua sangat teduh saat tersenyum.
"Gwaenchana. Aku tidak tersinggung. Kau berpikir begitu pasti karena mengingat latar belakang Jun." Aku mengangguk kecil membenarkannya. Lalu dia lanjut berkata, "Kisah hidupku berbeda dengannya. Aku tidak ditinggalkan. Jun juga sebenarnya kan tidak ditinggal, tapi dia kehilangan jejak dan akhirnya diculik."
Aku diam menekuni wajahnya. Mata hanya fokus menatap ukiran sempurna itu. Meski begitu telingaku masih peka mencerna setiap perkataannya. Tidak sepenuhnya bengong.
Joshua menaruh kedua tangannya ke belakang. Bertumpu pada lengannya yang terlihat kecil tapi berurat itu. Menengadah kepala ke atas. Matanya dipejamkan setelah melihat singkat pelangi abadi tersebut. Menikmati semilir angin yang kian menyiksa kulitku saat matahari ingin beristirahat. Mungkin Joshua tidak merasakannya karena memang kulitnya sudah dingin.
"Aku tidak ditinggal, tapi aku yang meninggalkan keluargaku, "Mataku sontak melebar.
"Namun tidak secara sengaja," sanggahnya.
Sorot mataku langsung turun saat persepsi terkejutku salah. Wajah baik-baik begini tidak mungkin melakukan hal sejahat itu.
"Aku memisahkan diri dari keluarga untuk hidup mandiri. Orang tuaku juga tidak mempermasalahkannya. Kita tinggal di Amerika, hidup terpisah saat umur beranjak dewasa itu bukan hal yang aneh bukan?" Aku mengangguk saja.
"Jadi terlintas di pikiranku untuk hidup sendiri. Kuliah sambil mencari pekerjaan di Korea. Sebagai tambahan informasi, orang tuaku asli Korea, tapi tinggal di Los Angeles. Jadi aku besar dengan dua bahasa."
Aku berdecak kagum. Selain tampan, dia juga bisa dua bahasa sekaligus. Baik dan perhatian pula. Kurang sempurna apa lagi?
"Di zamanku, desas desus ancaman vampire sudah ada. Tapi vampire di Amerika tidak terlalu terlihat. Mereka berkamuflase seperti manusia pada umumnya dan hanya keluar saat malam. Jadi aku pikir Korea dan Amerika pasti tidak jauh berbeda. Aku hanya tinggal menjauhi kegiatan di malam hari untuk terhindar dari vampire. Lagipula mau darimana pun, vampire tetaplah vampire. Masih makhluk penghisap darah manusia yang takut dengan cahaya. Hanya sebutan saja yang berbeda."
"Itu logikaku," jelas Joshua.
Benar. Vampire, Drakula, Kyonshi, dan sebutan-sebutan lainnya hanya dibedakan dari negara masing-masing dan bahasa ibu negara tersebut. Sesuai kata Joshua, intinya tetap sama.
"Semuanya berjalan lancar hingga aku sampai di Korea. Tidak ada masalah. Aku aman dari vampire."
"Lalu apa yang membuatmu jadi seperti ini?" tanyaku langsung seakan tidak sabar menunggu penjelasannya.
Dia membaringkan tubuhnya pada permukaan yang tidak rata itu. Menghela napas berat dan menjadikan tangannya sebagai bantalan. "Aku yang memilih untuk menawarkan diri."
Sebelum aku menyela, Joshua kembali berkata tanpa jeda. "Seseorang datang tiba-tiba padaku. Mengklaim dirinya seumuran denganku dan membuka jati dirinya sebagai vampire tanpa rasa cemas. Saat itu dia tidak bertaring. Sayapnya juga tidak terlihat. Berkulit putih dan tinggi. Jadi kupikir dia orang hanya orang aneh," tawa singkat Joshua.
"Sampai empat temannya datang. Tiganya mengaku sebagai vampire. Satunya lagi belum mengklaim itu."
Ada ya yang seperti itu? Belum menjadi vampire atau belum mengaku jadi vampire? Siapa gerangan vampire iseng itu? Aku jadi penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Outcast Castel
FanficDahulu ketika para vampire masih menguasai kota, kami hidup dalam kegelapan yang diselimuti darah kawanan kami sendiri. Hidup dengan ketakutan dan bau darah yang menyebar di penjuru kota. Namun itu sudah ratusan tahun berlalu. Kini para manusia ting...