Sequel 6

235 34 34
                                    

Sesuai janjiku semalam, aku update bagian Minghao 🥳

Kira-kira, gimana ya kalau teman kita ini jadi pacar kita? 🤔
Sejujurnya, aku agak susah ngebayanginnya 😂 Tapi aku berusaha biar dapet feel-nya. Semoga kalian suka ya 🤗

Yuk, jangan lama-lama lagi. Kita lanjut baca aja ceritanya 😆

Happy Reading ^^

🍃🐸🍃

Tetesan air mata tidak henti-hentinya keluar. Suara isakku pun tidak mau diakhiri. Sesedih itu perasaanku melihat kaki yang sudah tidak mampu bergerak sendiri, masih harus mengalami patah tulang. Bahkan di gips dengan tebal sampai si pemilik kaki tidak bisa bergerak.

"Sudahlah. Aku yang patah kaki, kenapa kau yang tidak berhenti menangis?" Minghao masih sangat santai meski dirinya tidak diperbolehkan sedikit pun beranjak dari ranjang.

Tangisku jadi lebih keras. Dengan sedikit tersedu-sedu, aku berkata, "Kenapa kau masih bisa biasa saja? Bagaimana kalau masalah kakimu makin karena patah tulang ini?"

Aku bahkan tidak mau membayangkan betapa menderitanya Minghao. Pria itu sangat mendambakan kaki normal. Saat masih jadi vampire, dia sudah mendapatkannya. Namun, dia rela melepas semua itu demi kepentingan teman-temannya. Aku jadi makin takut jika penyakit Minghao akan bertambah parah hanya karena masalah ini.

"Ini sudah terjadi dan karena salahku sendiri. Aku giat berjalan karena ingin jadi kekasih yang normal untukmu. Ini bukan kesalahanmu. Jadi, jangan menyalahkan dirimu." Minghao terus menenangkanku dengan kata-kata bijaknya. Namun, itu tidak bisa melepaskanku dari rasa bersalah.

"Jangan bohong! Kalau aku tidak bilang ingin jalan-jalan denganmu, kau tidak mungkin terus-menerus latihan berjalan dengan kedua tongkat itu. Kau bahkan tidak memikirkan meditasimu lagi. Semuanya salahku." Aku memukul-mukul bibirku dan menyalahkannya yang bicara tanpa memikirkan kondisi Minghao.

Pria itu segera menegakkan punggungnya dan menahan kedua tanganku. "Berhenti!" tegasnya.

Aku pun diam karena mendadak takut. Aku belum pernah lihat Minghao yang membentakku. Dia bukan pria yang suka marah-marah atau bicara dan bersikap kasar pada seorang wanita. Tutur katanya selalu terjaga meski terkadang agak pedas.

"Cukup, ya," ucap Minghao mengalun sambil menurunkan tanganku dan tetap menggenggamnya erat. "Ini kemauanku sendiri. Aku berlatih keras karena ini yang ingin kulakukan. Aku terjatuh dan patah tulang karena kecerobohanku sendiri. Ini murni kesalahanku. Jadi, berhenti menyalahkan dirimu sendiri."

Sebelum aku sempat membantah lagi, Minghao mengecup bibirku. Hanya sentuhan ringan agar bibirku kehilangan kata-kata.

Pasti Jun yang mengajarkannya, batinku menyalahkan manusia jelmaan kucing itu untuk menutupi degup jantung.

"Makin kau menyalahkan dirimu, aku makin merasa bersalah karena tidak bisa jadi kekasih yang baik untukmu." Mataku hanya berkedip-kedip dengan bibir yang belum bisa bergerak.

"Aku sudah cukup menyedihkan dengan kaki cacat ini. Jangan ditambah kau yang menangisiku juga." Minghao berkata sambil tertawa ringan. Bibirnya tetap bisa tersenyum dengan tangan yang mengusapi puncak kepalaku.

Dia membuatku jadi serba salah. Namun, aku hanya memanyunkan bibir karena tidak tahu, bagaimana harus memberikan reaksi?

"Aku takut kau menyesal memilihku sebagai kekasihmu. Karena itu, aku berusaha keras agar bisa berjalan lagi, meski tetap harus memakai dua tongkat."

Aku menunjukkan ekspresi marah. "Lagi-lagi kau mengungkit itu."

Aku juga tidak segan menarik telinganya yang agak panjang. Tetapi, aku tidak menariknya dengan kasar. Hanya tarikan kecil agar Minghao tahu, aku kesal saat dia terus membahas kekurangan fisiknya sangat bersamaku.

Outcast CastelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang