Ku buka pintu yang mungkin akan membawaku pada kematian. Mengintipnya sedikit dari sela-selanya dan menemukan ruangan yang tidak kalah terang dengan kamar ini.
Semua ruangan di penuhi dengan cahaya lampu yang entah dari mana. Ornamen yang didominasi warna putih, abu-abu dan sedikit ungu ini menambah kesan yang berbeda dari kastil vampire pada umumnya.
Ku kira vampire memiliki rumah yang gelap, hening, gersang dan menyeramkan. Tapi ini begitu ramai dengan berbegai barang manusia yang berasal dari berbagai zaman.
Kakiku masih tidak mau digerakkan untuk keluar dari kamar ini. Mungkin karena takut. Mungkin juga karena rasanya begitu aneh. Vampire yang tadi ku kira anak kecil itu juga sedang duduk di tengah-tengah ruangan itu sambil tangannya sibuk memainkan telepon genggam.
Itu telepon genggamku. Teriakku dalam hati.
Tidak pernah seorang pun ku biarkan untuk mengutak-atik ponselku. Bahkan dengan Jaemi sekali pun. Jika bukan hal penting, aku tidak akan memperbolehkan orang lain memegangnya. Tapi.. Bagaimana aku melarang vampire?
Dia terlihat bingung memegang ponselku. Berkali-kali dia membulak-baliknya. Melihat setiap tombol yang ada disisi kanan dan kirinya. Lalu ketika dia mencoba menekan tombol kuncinya, dia terkejut melihat layar ponselku sendiri.
Aku menahan tawa dalam hati. Dia muncul pasti pada tahun dimana telepon genggam bernama smartphone belum ada. Lucunya. Aku jadi penasaran berapa umurnya sekarang. Batinku kembali berspekulasi.
Kembali dia menekan tombol pengunciku. Dan bagusnya, aku tidak pernah menggunakan password untuk ponselku. Tapi dia sendiri kesulitan untuk melihat isi ponselku. Ku lihat dia berkali-kali membuka dan mematikan layar yang menunjukkan background bergambar diriku dan halmoni.
Saat dia mencoba menekan layarnya, dia terkejut kembali karena suara touchscreeen yang sengaja tidak ku matikan. Dia menikmati suaranya hingga dia terus-terusan menekan layar ponselku.
Dibanding vampire, dia lebih terlihat seperti makhluk zaman purba yang berhasil dicairkan oleh para peneliti. Dan sekarang sedang penasaran dengan alat elektronik yang dipegangnya.
Dia melihat ke arah layar kunciku sesaat. Wajahnya berubah sendu. Di usapnya wajah halmoni cukup lama sampai dia berhasil membuka layar kunci itu. Bukannya senang dan terkejut lagi, dia justru mencari-cari foto tadi. Kenapa dia menatap halmoni seperti itu?
Sekarang dia tidak lagi tertarik dengan ponsel itu. Digeletakkannya begitu saja di atas sofa dengan wajah sendunya. Kenapa?
Kenapa dia begitu sedih?
Beberapa saat aku larut dalam pikiranku. Terlamun lama memikirkan apa yang sebenarnya vampire itu pikirkan. Kenapa juga aku penasaran? Seorang vampire dan manusia tentu berbeda.
Mereka tidak punya perasaan dan kejam. Mereka bahkan bisa membunuh manusia dengan jumlah banyak untuk mendapatkan makanannya. Darah.
Tapi perasaanku mengatakan hal yang berbeda dengannya. Lee Chan. Apa itu sungguh nama aslinya?
"Noona?" Aku tersentak kembali ketika lagi-lagi dia memanggilku 'noona'. Namun aku sama sekali tidak menghindar. Rasanya aku seperti tidak tega meninggalkannya. Belum lagi setelah melihat ekspresinya yang sedih itu.
Dengan kecepatan kilat yang entah sejak kapan, dia sudah berubah menjadi anak kecil kembali. Dia duduk tenang dan rapih seperti anak baik-baik yang menuruti perkataan orang tuanya.
"Kenapa kau diam saja?"
"Aku tidak mau menakut-nakuti noona lagi." Jawabnya.
"Kenapa kau peduli?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Outcast Castel
FanfictionDahulu ketika para vampire masih menguasai kota, kami hidup dalam kegelapan yang diselimuti darah kawanan kami sendiri. Hidup dengan ketakutan dan bau darah yang menyebar di penjuru kota. Namun itu sudah ratusan tahun berlalu. Kini para manusia ting...