"Mianhae, aku terlambat. Kenapa tiba-tiba mengajakku bertemu? Ada berita baik kah?"
Gadis bersuara merdu dan bersemangat dihadapanku ini adalah teman seperjuanganku. Kim Jaemi. Kami seumuran, namun garis keturunan kami menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dia terlahir pada keluarga harmonis dan penuh kecukupan. Sedangkan aku..
Aku tidak akan mengingatnya lagi.
"Aku hanya ingin mengobrol denganmu untuk terakhir kalinya." Kataku.
"Kau ini bicara apa. Kita bisa bertemu setiap saat. Apa kau dapat pekerjaan yang jauh dari sini? Sejauh-jauhnya tempat kerjamu, kita juga masih bisa bicara melalui telepon." Balasnya. Jika dia tau apa yang akan ku lakukan, mungkin dia tidak akan mengatakan hal itu.
Karena bibirku tidak bisa menjelaskannya sendiri, maka tanganku yang bergerak mengeluarkan lembaran kertas yang kemarin baru saja ku tanda tangani.
Jaemi mengambil selembaran itu santai. Dan ketika dia membacanya, rautnya berubah mengeras. "Apa yang kau pikirkan!! Jika kau tidak mendapat pekerjaan, bukan berarti kau menerima pekerjaan konyol ini!! Robek surat ini atau aku yang merobeknya." Bentak Jaemi.
"Aku tidak punya pilihan."
"Banyak pilihan. Kau saja yang belum menemukannya. Sekarang robek atau aku tidak akan menjadi temanmu untuk selamanya." Ancam Jaemi.
"Jaemi-ya, tolong mengerti." Rilihku. Jaemi tidak menuntut apa-apa lagi. Tapi wajahnya belum juga melunak. Tatapannya terus menunjukkan ketidaksetujuan.
"Aku tidak bisa hidup dihantui para rentenir dan juga ahjushi yang memintaku menikah dengannya. Aku tertekan. Belum lagi karena latar belakangku yang kelam membuat seluruh perusahaan enggan menerimaku. Dan sekarang ahjushi itu terus menyudutkanku dengan mendesak para anak buahnya untuk menghantuiku setiap hari. Satu lamaran yang pasti menerimaku hanya ini." Jelasku.
"Tapi kenapa harus jadi pemburu hantu??"
"Vampire, Jaemi-ya." Ralatku.
"Sama saja! Mau itu hantu, vampire, zombie atau jin sekalipun, mereka itu sama saja. Mereka sama-sama tidak nyata dan jahat. Memang aku tidak percaya pada makhluk-makhluk seperti itu. Tapi selama ini, orang-orang yang pernah mencoba melamar ke perusahaan itu, semuanya tewas. Hilang tidak ada jejak. Kau ingat teman angkatan kita, Cha Yohwa? Dia katanya pernah coba-coba mencari tahu dengan mengikuti lamaran aneh ini, tapi sampai sekarang tidak ada kabar tentangnya dan aku tidak mau itu terjadi pada sabahatku. Aku tidak mau kehilanganmu."
Jaemi menggenggam tanganku dan memegangnya begitu erat. Bahkan bisa dikatakan meremas hingga ringisan kecil keluar dari bibirku.
"Jaemi-ya, jika kau mau cerita, tidak perlu sampai meremas tanganku. Appo!" Ucapku sambil menahan sakit.
"Dengan cengkramanku saja sakit, bagaimana dengan vampire-vampire itu?! Please.. Jangan pergi. Kalau kau tidak ada, aku tidak akan punya teman baik lagi." Rengek Jaemi.
"Kau itu banyak teman."
"Tapi tidak ada yang sepertimu."
Aku melemah. Sesungguhnya aku juga tidak tega meninggalkan Jaemi yang sudah begitu baik padaku. Tapi aku sudah menentukan pilihan. Aku tidak mungkin selalu menyusahkan keluarga Jaemi. Walau resikonya besar, aku harus bisa menganggungnya sendiri.
"Apa kau tidak berniat untuk berpikir ulang?" Jaemi sudah bisa menebak tekadku. Dia pun kembali menegakkan tubuhnya dan mengembalikan surat lamaran itu.
"Sungguh.. Aku masih tidak rela jika kau melakukan pekerjaan ini. Jika kau mau menunggu lagi, aku akan meminta bosku menerimamu sebagai karyawannya. Please.." Mohon Jaemi lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Outcast Castel
FanfictionDahulu ketika para vampire masih menguasai kota, kami hidup dalam kegelapan yang diselimuti darah kawanan kami sendiri. Hidup dengan ketakutan dan bau darah yang menyebar di penjuru kota. Namun itu sudah ratusan tahun berlalu. Kini para manusia ting...