Deg Deg!
Deg Deg!
Deg Deg!
Beberapa kali aku harus menarik napas dalam untuk menetralisir kegugupan ini. Meski hanya tangan yang saling mengait, entah kenapa aku merasa sangat gugup?
"Apa benar kau sudah bisa berjalan? Kau berdetak sangat kencang."
Refleks aku menahan napas karena ucapannya. Apa aku habis mengungkap isi hatiku yang gugup atau dia juga bisa merasakan detak jantungku yang berpacu? Menahan napas hanya memperburuk detak ini.
"Bisa! Bisa!" Dengan tanpa sadar, aku meninggikan suara yang makin memperjelas kegugupanku.
Dia menatapku lekat untuk sesaat. "Kau tau? Meski aku bisa mengetahui isi hatimu, tapi aku tidak mengerti dengan apa yang kau rasakan sekarang."
Syukurlah. Napasku sudah melega.
"Mungkin karena kau membenci perempuan, jadi kau tidak memahamiku," respons-ku.
Jihoon bergumam dan membenarkannya. "Kalau begitu, apa sebutan untuk perasaan itu? Hal yang lebih dari sekedar kegugupan dan bukan kecanggungan biasa itu."
Napasku tertahan lagi. Bisa-bisanya dia mengajukan pertanyaan seperti itu. Semua pria memang tidak peka.
Dengan ahli, aku menyangkalnya dengan berkata, "Perasaan tidak bisa diucapkan, hanya bisa dirasakan."
Jihoon terkekeh dengan senyum miringnya. "Kau benar."
Napasku terhembus. Sekali lagi aku mengucap syukur dan berharap Jihoon tidak menyadarinya lagi. Jika dia perempuan, dia akan mengerti gambaran perasaan yang kumaksud. Hanya perempuan yang akan paham, bagaimana rasanya didekati dan diperhatikan seorang pria tampan. Untuk dikatakan suka layaknya jatuh cinta pun bukan. Ini terlalu sulit dideskripsikan untuk wanita sendiri. Pria tidak akan mengerti.
Astaga! Kenapa aku jadi sering merasa seperti ini? Jihoon sudah jadi pria kedua belas yang memberiku perasaan tidak jelas ini. Jangan aneh-aneh [Y/N]! Kamu bukan play girl.
Masih dengan setia memegang tanganku, Jihoon menopangku berdiri dengan genggaman kuatnya. "Kita memang tidak bisa membuang-buang waktu lebih lama lagi, tapi jika kondisimu seperti ini, akan sulit menghadapi hyung."
"Aku juga tidak mau membuat kalian lebih lama menunggu. Aku akan baik-baik saja, selama tidak ada yang menyenggolnya." Kusentuh bagian perutku. Tidak seperih sebelumnya. Aku yakin, aku bisa menahannya.
"Kau keras kepala," komentarnya.
Dan aku juga tidak mau kalah untuk berucap, "Kau pun begitu."
Untuk beberapa saat kami saling pandang. Dia menarik sudut bibirnya. "Perpisahan ini memperlihatkan satu kesamaan kita."
"Ini hanya perpisahan sementara. Setelah pertempuran di antara kalian berakhir, kita bisa bertemu lagi dan kalian bertiga belas akan bisa bersama tanpa batasan."
"Tidak akan ada yang tau jawaban pastinya. Masa depan itu misterius."
Setelah berkata demikian, Jihoon menampilkan atraksi sihirnya yang menakjubkan. Jari-jari lentiknya bergerak halus membekukan lantai dan melapisi permukaan tersebut dengan kaca es yang tipis.
Jihoon melakukannya dengan mata terpejam selama jari-jarinya bergerak. Aku pun mengambil kesempatan untuk memperhatikannya diam-diam dengan seksama. Menekuni wajah imut yang sebenarnya rupawan. Tidak ada rasa bosan meniti ukiran tersebut, sampai tidak sadar jika fokusku jatuh di bibir merahnya. Lama dan cukup lama hingga tidak tau mata vampir ini sudah terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Outcast Castel
FanfictionDahulu ketika para vampire masih menguasai kota, kami hidup dalam kegelapan yang diselimuti darah kawanan kami sendiri. Hidup dengan ketakutan dan bau darah yang menyebar di penjuru kota. Namun itu sudah ratusan tahun berlalu. Kini para manusia ting...