Badai Salju

284 65 4
                                    

Awan di langit berangsur-angsur hilang. Aku melangkah sendiri ditemani gemerisik dedaunan yang sengaja kuinjak. Berjalan dengan mata yang kosong. Sibuk bergumul dalam pikiran tentang apa saja yang harus kulakukan dengan vampire dingin itu.

Aku menghela napas. Kepalaku tidak bisa memikirkan apa-apa. Aku sering dicemooh, tapi aku tidak pernah dibenci sebenci-bencinya oleh orang yang baru pertama kali bertemu. Kebanyakan pria juga lebih banyak memandangku dengan mata keranjangnya. Pria vampire ini sebenarnya memberi kesan tersendiri untukku.

Aku menghembuskan napas panjang sebelum mengangkat kepala. Mendongak tinggi menatap kastil tinggi tersebut, sekaligus memastikan langit yang sudah gelap. Liurku terteguk secara otomatis.

Ketika aku memandang lurus ke depan, sudah ada bayangan hitam yang berdiri di balik pintu es itu. Menungguku dengan tatapan dinginnya yang belum mencair sedikit pun. Aku hanya bisa berdiri dengan tegang menunggu kakinya yang siap dihentakkan dan memecahkan dinding es tersebut.

"Apa yang ingin kau katakan?"

Tubuhku seketika menegak. Tangan dan kakiku dirapatkan. Aku berada di posisi tegap bagai prajurit yang siap dilatih. Bagaimana bisa dia tau ada yang ingin kukatakan, padahal aku belum tau apa itu?

"Aku tidak butuh perasaan ibamu," geramnya. Tangannya berayun.

Namun aku tidak berniat kabur meskipun kakiku dibekukan olehnya. Aku hanya bisa berdiri sambil meneguk liur demi melegakan tenggorokan keringku. Dengan sedikit keberanian, aku menatap mata marah yang tidak pernah luntur sejak pertama kali aku melihatnya.

"Apa saja yang sudah mereka katakan?" Tubuhku kian menegang, tapi aku belum berani membuka mulut. Sesuai kata Wonwoo, membahas masa lalu vampire ini di depannya langsung akan membahayakanku.

"Wonwoo atau Soonyoung? Apa pun yang mereka katakan, jangan pernah mengasihaniku!"

Dia menebak?

Dengan bermodalkan nyali, bibirku diangkat mengatakan, "semua yang dikatakan Wonwoo ternyata benar." Vampire itu memberikan reaksi ringan.

"Meski kau membenci perempuan, kau tidak akan melukainya," bohongku. Wonwoo tidak pernah mengatakannya. Itu semua hanya improvisasi untuk mengetahui, apakah dia bisa membaca pikiran seperti Wonwoo atau tidak?

Mata tajam itu perlahan memudar. Pipi putih itu pun terlihat akan tertarik. Bagai sebuah magnet, aku juga jadi ingin menariknya, sampai tawa itu tidak berbunyi sesuai harapan.

Dia terkekeh dengan suara cemooh. "Bahkan seekor rubah bisa berbohong lebih baik darimu."

"Tapi.." Suaranya yang mengalun, membuatku terkejut, "Aku akan menghargai usahamu itu."

Aku tidak bisa menahan wajah senang saat dia mencairkan es yang membuatku diam di tempat. Kakiku bergerak dengan riang. Aku tidak bisa menutupi keceriaan yang menggema di dadaku. Bukan hanya karena mendapat kebebasan darinya. Namun kesenangan berlebih ini datang karena tidak percaya bisa melihat senyum itu.

"Sudah kuduga, kau tidak sedingin yang terlihat." Lalu ucapku juga yang menghilangkan keindahan lekukan bibir itu.

"Kau pikir aku tersenyum karenamu?"

Aku menunduk diam dan kembali merutuki bibir ini dalam hati. Bisa-bisanya aku merusak suasana hati sensitif itu.

"Jangan terlalu percaya diri!" Napasku tertahan.

"Jihoon-ah!"

Teriakan itu mengalihkan perhatiannya. Aku sedikit bisa mengambil napas saat atensinya yang teralih.

Bersamaan dengan angin yang berhembus, sosok vampire berisik itu turun menemani kecanggungan kami. Dia melihat jarak mengobrol kami yang cukup jauh. Kepalanya tergeleng.

Outcast CastelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang