Sorot Mata

286 70 3
                                    

"Stt! Stt!"

Dia berusaha tidak terganggu oleh tingkah tengil salah setengah vampire yang selalu membuat masalah dengan bosnya sekarang. Setengah vampire yang tidak kenal takut meski tidak berdaya dalam ikatannya. Dia masih tetap memfokuskan diri membalik lembar demi lembar buku tebal yang dibaca. Buku yang sangat berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada.

"Hei! Berapa umurmu?"

Vampire itu selalu menanyakan pertanyaan acak yang tidak pernah dia bayangkan akan terdengar. Makhluk itu bukan lagi seorang vampire. Dia hanya setengah vampire yang tidak memiliki kekuatan. Bahkan wujudnya hanya seperti manusia biasa dengan mata merah dan taring. Dan inilah wujud setengah vampire yang dia tau.

Berwujud manusia normal. Tanpa sayap. Tanpa kekuatan. Vampire gagal yang tidak berdaya. Bukan seperti yang ada pada buku ini. Dia menutup dan meletakkan buku tersebut dengan sedikit bantingan. Berjalan menuju vampire paling banyak bicara itu.

"25 tahun." Walau malas, dia tetap menjawab pertanyaan vampire itu.

"Kalau begitu, kita seharusnya seumuran. Dulu," ucapnya dengan keramahan. "Perkenalkan, namaku Jeonghan. Dulu aku sepertimu."

Tidak ada niat untuknya menganggapi perkenalan ramah itu. Dia tidak yakin harus akrab dengan musuh manusia. Mereka atau juga bosnya itu. Dia tidak bisa mempercayai siapa pun di gedung ini.

"Boneka Chang yang terjebak dalam permainan katanya." Jeonghan menampilkan taring panjangnya. "Kau tidak terlihat bodoh untuk mau bermain dengan Chang."

"Apa maksudmu?" Suara bariton itu menarik bibir Jeonghan untuk mengeluarkan kekehan kecil dari perutnya yang geli.

"Mau berbagi informasi?"

🍃💦❄🔥

Panas. Gerah. Sesak. Aku bergerak gelisah di tempatku berbaring sekarang. Pergelangan kaki dan tanganku terasa sakit seakan ada tali yang mengingatnya. Asap dari bara api yang menerangi ranjangku kali ini, sangat mengganggu indra penciumanku. Hidungku sulit memilah oksigen dan aku mulai hilang kesadaran sejak bangun tidur.

Ketika mataku hampir terpejam karena lemas, telingaku mendengar sebuah kibasan yang memadamkan obor panas itu. Namun, masih perlu waktu agar aku bisa bernapas kembali.

"Ini memang bukan sambutan yang hangat." Aku tidak berniat membuka mata. Karena setelah membukanya pun, aku tidak akan bisa melihat apa-apa dalam kegelapan.

"Tapi aku tidak mau mengambil resiko."

Namun aku tidak tahan untuk terpejam lebih lama. Pada akhirnya, mataku terbuka karena rasa penasaran. Dan terbuka lebih lebar lagi karena sosok yang tampil sangat dekat di depan wajahku. Sosok dengan mata merah menyala dan wajah tegas. Aku..

Lupa caranya bernapas lagi.

"Siapa kau sebenarnya?"

Aku hanya bisa membuka mulut tanpa bisa bersuara. Bibirku bergetar. Seluruh tubuhku tegang. Aku takut hanya dengan melihat kemarahan pada mata besar itu. Mata yang indah, tapi menakutkan.

"Kau, bukan orang yang kukenal." Jeda itu menambah keseramannya.

Ketika wajahnya menjauh dariku, kepalaku baru bisa menggeleng ringan dengan bibir mengucap, "A-aku.." dan itu pun sangat sulit.

"Dari mana kau mendapat kalung ini??" Dia memberi tekanan pada ucapannya sambil menarik kalung Jaemi di leherku. Tarikan kuat hingga aku takut benda berharga milik temanku ini rusak karenanya.

"Ja-jangan merusaknya. Jebal!" mohonku dengan suara lemah yang kental akan ketakutan.

Vampire itu terdiam. Dia menatapku yang memohon sambil menahan air mata yang hampir mengalir. Aku tau, meski ini gelap, dia masih bisa melihat jelas ekspresi tertindasku. Sorot mata membakar itu perlahan berubah mendingin. Dia berhenti menarik kalungku dan menjatuhkannya kembali. Tubuhnya menegak.

Outcast CastelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang