Nĭ hăo

387 81 21
                                    

Dengan tubuh terduduk tegak, aku meluruskan tangan menuju dinding transparan yang membagi dua dimensi di hutan tersebut. Bangun dari tidur paksaan itu, tubuhku mendadak segar karena ingin mengetahui kebenaran dari hal tidak masuk akal yang mengelilingku.

Bersama cincin dan para batu yang sudah bertambah, aku memberanikan diri untuk menembus batas tersebut. Seperti dugaanku sebelumnya, aku sudah tidak merasakan rasa panas dan terbakar itu. Aku melempar selembar dedauan yang entah sejak kapan sudah berserakan di sekitarku. Daun itu tetap tidak mau melewati dinding tersebut.

Jadi itu berarti dengan menghilangnya kastil Minghao, tidak mempengaruhi benteng pelapis itu? Jadi apa alasan yang membuatku tidak merasakan sensasi panas itu lagi?

Aku coba menggunakan benda yang lebih berat. Batu yang paling dekat denganku menjadi korban percobaan selanjutnya. Ketika aku melemparnya, batu kecil itu memantul dan berbalik begitu saja ke arahku. Memukul keningku hingga menimbulkan rasa sakit ringan.

"Sampai kapan aku berjalan tanpa arah dan ketidaktahuan ini?" gumamku. Aku sangat membutuhkan penjelasan agar aku tidak terlihat seperti orang bodoh begini. 

Sekarang ke mana aku harus pergi? tanya batinku sambil mendongak ke atas. Melihat awan yang tampak berbeda sore ini.

Bukan pelangi, tapi warna-warni layaknya fenomena alam indah itu. Apa mataku yang salah? Aku menggosok-gosok mataku cukup lama hingga agak mengalami kekaburan. Perutku pun berbunyi. Memperparah kondisiku yang tidak tau harus ke mana. Di saat bersamaan, ada suara lain yang menemani suara perutku.

Itu jelas bukan suara hewan buas, apalagi para vampire tersebut. Tidak mungkin vampire yang masih berwujud manusia, mengeong seperti kucing. Bahkan terdengar layaknya anak kucing.

Apalagi kali ini? Tidak mungkin seekor kucing tersasar sampai hutan yang dalam ini. Kucing tidak suka suhu yang sedingin itu.

Setelah berkata demikian dalam pikiranku sendiri, tubuhku sontak menggigil. Karena sejak tadi terperangkap pada pikiran sendiri, aku sampai tidak merasakan suhu hutan yang sedingin ini. Sudah kedua kalinya aku merasakan suhu yang sedingin ini. Apakah vampire selanjutnya punya kekuatan es? Aku jadi suka menebak-nebak yang tidak pasti.

Suara ngeongan itu kembali terdengar. Aku pun merasakan sebuah pergerakkan pada punggung belakangku. Mengelus dan menempel di sana.

Kepalaku refleks menengok. Tubuhku sontak berdiri. Dengan posisi siaga, mataku melirik tajam pada makhluk hidup yang tadi menempel padaku itu. Namun menemukan sosok imut yang tergambar di bola mataku, senyum lembut tampil menggantikan sikap berjaga-jagaku.

"Bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanyaku dengan suara gemas. Menghampiri dan mengelus bulunya yang dingin. Aku pun mengangkatnya dalam gendongan.

"Tubuhmu sangat dingin. Sejak kapan kamu ada di sini?" Aku mengusap-usapnya lembut. sembari memperhatikan setiap inci pada tubuh kucing tersebut.

Bukan bermaksud curiga, tapi aku tidak bisa mengurangi awasku jika berada di hutan ini. Setiap tindakanku akan berakibat mengancam nyawa. Apalagi mengingat aku sekarang hidup di lingkungan para vampire, meskipun mereka sama sekali tidak berniat menyakitiku.

"Kamu ini sungguh anak kucing atau hanya vampire yang berpura-pura?" ucapku. Lalu mengangkat kucing yang berwajah polos itu sedikit lebih jauh.

Kala kedua tanganku lurus mengangkatnya, kucing itu memberikan perubahan pada ekspresinya. Agak menyeramkan sampai aku tanpa sengaja menjatuhkannya.

Memang pada dasarnya refleks kucing cukup bagus, dari jarak setinggi apapun, mereka akan jatuh dengan bantalan kakinya terlebih dahulu. Aku jadi memikirkan kembali jati diri dari  kucing tersebut adalah hewan sebenarnya. Tapi aku tidak bisa melupakan seringaiannya. Memang ada seekor kucing yang bisa tersenyum menyeringai?

Outcast CastelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang