"Apa kau tidak terlalu kasar padanya?"
"..."
"Aku tau kau mendengarku." Jihoon tidak berniat membuka bibir selama Wonwoo mengoceh dalam pikirannya.
"Ya! Jawab aku!"
Mata Jihoon terpejam mendengar suara teriakan bariton Wonwoo, seakan pria itu berteriak di telinganya langsung. "Hm.."
Wonwoo mendesis. "Meskipun kau membenci perempuan, kau harus coba mempertimbangkannya. Hanya dia satu-satunya jembatan kita."
"Hm.." respon Jihoon seadanya. Ada sesuatu yang mengganjal setiap kali harus bernegosiasi dengan dua hal yang tidak dia sukai.
"Pertimbangkan baik-baik. Turunkan egomu. Pilih dengan bijak, kita sudah di sini kurang lebih 300 tahun. Kita sepakat untuk keluar bersama dan hanya wanita itu yang bisa kita percaya untuk saat ini."
Jihoon menghela napas. Dia menggaruk-garuk kepala sambil bergumam, "Kau memberiku tekanan."
"Kita sudah hidup dengan tekanan dan akan selalu berada di dalamnya."
🍃💦❄🔥
"Anakmu sangat cantik. Setelah dewasa nanti, hidupnya pasti akan sangat baik."
Saat kecil, aku sering mendengar kalimat itu. Namun itu tidak membuatku senang sama sekali karena mereka yang berkata begitu di depan, sebenarnya menyimpan cacian di belakangku. Senyum yang terlihat ramah itu, hanya tipuan untuk wanita jahat yang mengandungku selama 9 bulan. Mengandungku dengan terpaksa bersama ayah yang tidak berguna.
"Saya juga berpikir begitu. Dengan kecantikan ini, akan banyak orang yang menyukainya. Dia juga akan mudah mendapat pacar."
Aku sangat ingat bagaimana mataku meliriknya tidak suka. Sentuhan tangannya yang halus di kepalaku, sama sekali tidak membuatku merasa hangat. Bahkan aku bisa ingat saat perutku bergejolak ingin mengerluarkan isi perut. Bisa-bisanya dia membahas soal pria dengan anak di bawah umur. Jika tidak ada halmoni, mungkin aku sudah dijual ke paman mesum yang selalu melihatku dengan tatapan menjijikkan.
"Aku tidak sama sepertimu," dan dengan berani, aku berkata demikian. Tapi para orang tua selalu menanggapi ucapanku sebagai lelucon. Mereka tertawa dan berkata aku sangat menggemaskan.
Aku kesal. Aku ingin berteriak, membentak, dan kabur. Banyak kata kebencian yang terbendung di bibir ini, tapi tidak ada yang bisa terlontarkan. Itu membuatku sesak.
"Jadi, ini definisi sesak yang kau rasakan?"
Tubuhku segera terbangun ketika wujud vampire pendek itu muncul di mimpiku. Meski sudah membuka mata, tetap saja aku tidak bisa melihat apa-apa di tengah kegelapan ini.
"Soonyoung-ah, kastilmu segelap ini saat malam?" kataku asal.
"Kau sudah tidakdi sana."
Suara itu?!
Refleks aku bergerak ingin kabur. Namun sialnya, seluruh tubuhku justru berbenturan dengan tembok dingin yang terasa basah dan menyengat kulit. Wajahku sempat menempel pada benda padat dingin itu, tapi aku menariknya paksa hingga pipiku terasa perih.
Sunyi dan senyap. Aku hanya bisa mendengar suara detak jantung yang berpacu bagai kuda ini.
"K-k-kau..! Vampire pendek it-"
Aku membungkam bibirku dengan cepat. Dia berdecak. "Cih! Sudah takut, masih bisa mengejek?"
Suara kebenciannya terdengar menakutkan di telingaku. Aku meminta maaf sebanyak-banyaknya, tapi itu tidak membuat kondisi membaik. Vampire itu justru terdengar makin tidak suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Outcast Castel
FanfictionDahulu ketika para vampire masih menguasai kota, kami hidup dalam kegelapan yang diselimuti darah kawanan kami sendiri. Hidup dengan ketakutan dan bau darah yang menyebar di penjuru kota. Namun itu sudah ratusan tahun berlalu. Kini para manusia ting...