Penjara

273 69 1
                                    

"Kecuali.. Kau hanya mencari materi dari kepercayaan kami."

Untuk beberapa saat aku terdiam meliriknya, sampai aku menanggapinya dengan tertawaan. "Kau ternyata sangat bawel." Lalu, menghabiskan tteokbokki milikku hingga kandas.

"Kau tidak akan memakan odeng dan kimchi ini, kan?" Tanganku beralih mengangkat cup tersebut. Tidak kusangka, aku belum kenyang setelah makan tteokbokki porsi besar itu. Terlalu lama aku diet dalam hutan ini.

Sebuah pertanyaan dari bibirnya membuat kerja dadaku berhenti mendadak. "Kau tidak sedang mengalihkan pembicaraanku, kan?"

Suara dinginnya membuatku diam. Harusnya aku menyangkal ucapannya itu, tapi tubuhku terlalu takut untuk mengklarifikasinya.

Dia yang tadi nyaman berbaring, jadi terduduk kembali dengan tatapan yang tidak lepas dariku. Matanya sangat serius sampai aku takut untuk melihatnya. Gelagatku ini tentu memancing kecurigaannya yang lebih besar lagi.

"Kenapa kau setakut itu padaku? Jika ucapanku salah, harusnya kau bisa menyangkal. Kau membuatku berpikir buruk kembali padamu."

Dia bangun dan aku hanya mendongak melihatnya. Ingatan di mana orang-orang mendikte-ku buruk karena reputasi orang tuaku, kembali mendatangiku.

"Jaga anakmu baik-baik, dia anak pelacur itu." Tatapan itu.

"Sekalipun kau menyangkal, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Sekalipun orang tuamu sudah membuangmu, kau akan mengikuti jejaknya suatu saat nanti. Kau punya masa depan yang sama seperti mereka. Buruk." Ucapan itu.

"Kau tidak punya pengalaman. Identitas orang tuamu juga tidak jelas. Bagaimana kami bisa mempekerjakan orang sepertimu? Kami tidak mau mempekerjakan seseorang yang berlatar belakang penjahat." Paksaan itu.

Air mataku mengalir keluar tanpa disuruh. Dengan ekspresi datar yang tidak menapakkan kesedihan, aku menyekanya. Samar-samar kudengar suara Soonyoung yang terkejut karena tangisan dadakan ini, tapi aku tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Bisikan dari masa lalu itu, membisukan pendengaranku. Menakutkan.

Aku terus menyeka air mata ini sendiri. Mengusapnya dengan kasar hingga rasanya kulit di area mataku perih.

Soonyoung menyentuh pundakku. Mengangkat wajahku dan dengan lancang mengecup bibirku. Tubuhku seketika membeku. Otakku pun ikut berhenti mengingat kejadian lama itu, bahkan air mata ini juga tidak lagi mengalir.

"Apa ucapanku salah?" tanyanya.

"Kenapa kau menciumku?" Dan hanya itu yang jadi pertanyaan di otakku.

Jari-jari dinginnya bergerak mengusap bagian bawah mataku. Mengeringkan area basah itu dengan lembut meski tangannya membuat kulitku menggigil.

"Karena kau menangis. Aku tidak tau cara menghentikan tangisan perempuan, jadi kucium saja."

Dasar playboy! Aku mendorongnya tanpa sadar dan segera berdiri. Menghentakkan kaki dan memperlihatkan tatapan marah. Aku tidak tau, kenapa aku semarah ini?

"Mian," ucapku langsung sambil mengulurkan tangan untuk menariknya.

Soonyoung menerima tanganku, tapi bukan aku yang menariknya, justru tubuhku yang ditarik jatuh hingga menubruk tubuhnya. Dia memelukku dan menggulingkan tubuh kami hingga aku berada di bawahnya. Pipiku memanas dengan mata merah yang masih tersisa habis menangis tadi.

"Kepribadianmu sangat aneh. Habis menangis, tiba-tiba marah. Terus baik lagi," komentarnya sambil memosisikan wajahnya di dekatku.

Aku lupa caranya bernapas!?!

Outcast CastelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang