Dingin. Tapi tidak terlalu dingin. Sejuk, tapi sangat lembab. Tubuhku, semua terasa basah. Hanya tangan kiriku yang berkeringat sendiri. Ketika aku menggerakkannya, sebuah suara bertanya keadaanku. Tanganku pun semakin hangat meski digenggam oleh dua tangan yang dingin.
"Noona, aku tau kau sudah bangun. Tapi kenapa tidak buka mata?"
Aku mendengus saat suara Chan terdengar di kepalaku. Dari mana saja dia semalam? Saat aku membutuhkan bantuannya, dia tidak muncul. Tapi ketika aku dalam bahaya, dia juga bersembunyi.
"Noona, apa yang terjadi semalam? Kenapa Vernon hyung menggenggam tanganmu seerat itu? Kau mau tau? Ini pemandangan yang langkah."
"Apa maksudmu? Siapa Vernon hyung?" Tanyaku balik.
"Itu aku. Dino memberitahukan namaku?" Mataku otomatis terbuka saat suara yang bukan Chan, menjawab pertanyaanku.
Cahaya matahari menyorot langsung kedua mataku. Bersama dengan sinar ketampanan yang dipancarkan vampire yang mengaku bernama Vernon. Sebagai seorang vampire, wajahnya memang sangat bersinar. Terlepas apa ini kamuflase dari kekuatannya atau tidak.
"Namamu sulit disebut." Kataku. Tidak tau harus mengatakan apa karena terlalu lama terhipnotis dengan pesonanya.
"Tapi kau sudah berhasil menyebutkannya."
"Aku tidak mengerti apa yang sudah terjadi, tapi aku masih terlalu kecil untuk melihat adegan romantis ini. Aku pamit undur diri."
"Vampire tua! Kau sudah terlewat umur untuk berkata begitu." Serangku. Kelepasan mengatakannya pada Chan yang tidak berwujud. Hingga Vernon yang merasa aku mengatakan itu untuknya.
"Kau menghinaku?" Tanyanya. Namun tidak terdengar nada tersinggung.
"A-ani. Aku mengatakan ini pada Chan. Dia meledek kita."
"Aku bisa mendengar kalian samar-samar. Tidak heran dia berkata begitu. Aku memang daritadi menemanimu tidur."
Apa? Pipiku memanas mendengarnya. Belum lagi fakta mengenai tanganku yang dipegangnya hingga berkeringat. Dia menemaniku sambil memegangi tanganku begini? Boleh tidak baper dengan seorang vampire?
"Kau masih panas? Pipimu merah. Ada bagian tubuhmu masih terbakar?" Dia tidak segan-segan menyentuh pipiku dengan tangan dinginnya. Bukannya membaik, wajahku justru semakin panas.
Dia tampak terkejut dan langsung melepaskan pegangan tangan ini. Membangunkan diri dari kursi dengan wajah ketakutan. Lalu menjauhkan dari kursinya.
Aku refleks ikut terbangun dari kasur. Menggunakan bantuan tangan untuk mengangkat tubuh ini. Tunggu, tanganku tidak sakit? Aku tidak jadi menyusul Vernon yang tadi kelihatan takut denganku. Fokusku terganti melihat tangan yang tidak lagi terbakar.
Kenapa bisa sembuh secepat ini?
"Tanganmu terluka cukup parah semalam, makanya aku memegang tanganmu semalaman untuk menyembuhkannya." Katanya. Masih berdiri dari jarak aman denganku.
"Kau bisa menyembuhkan luka?"
"Untuk luka bakar iya. Kalau yang lain tidak. Apa masih ada yang sakit?" Tanyanya lagi dengan hati-hati.
Aku menggeleng. "Gomawo. Jika tidak ada kau, aku tidak tau bagaimana keadaanku semalam. Aku berhutang budi."
Vernon terlihat lebih terkejut dari sebelumnya. Dia sangat berbeda dengan saat kesan awal kami bertemu. Dia jadi sedikit penakut dan jaim. "Ada apa denganmu? Kenapa kita jadi bicara berjauhan begini?"
"Jangan bergerak," Cegahnya. "Biarkan aku berpikir. Tapi aku bingung. Kenapa?"
"Kenapa apanya?" Aku ikut bingung melihat tingkahnya. Aku merasa tidak ada yang salah dengan setiap perkataanku. Jika ada yang salah, aku juga akan meminta maaf. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan vampire lainnya kemarin?
KAMU SEDANG MEMBACA
Outcast Castel
FanfictionDahulu ketika para vampire masih menguasai kota, kami hidup dalam kegelapan yang diselimuti darah kawanan kami sendiri. Hidup dengan ketakutan dan bau darah yang menyebar di penjuru kota. Namun itu sudah ratusan tahun berlalu. Kini para manusia ting...