Curahan

355 73 18
                                    

Bibirku melukis senyum lebar selama memandangi sosok menyeramkan yang asik mempelajari hal baru untuknya itu. Walau merupakan sosok yang tidak suka cahaya, nyatanya Wonwoo tidak bisa melepas ponselku dari tangannya.

Aku tidak bisa marah jika seseorang yang mengacak tasku tersebut, seimut ini. Dia bahkan tidak memedulikan pikiranku yang terus menggodanya.

Sesekali aku mengintip ponselku. Melihat apa yang sedang dilakukan vampire tua tersebut. Dia lebih banyak menggeser sana sini, menekan setiap aplikasi, lalu mengeluarkannya. Tentu saja aku yang mengajarinya cara keluar itu. Jika tidak, mungkin dia hanya bisa bergerak ke kanan kiri pada menu kalender.

Baterai ponselku terlihat menipis karena terus diutak-atik olehnya. Sudah lebih dari seminggu aku di sini, tidak heran jika sekarang hanya tersisa 5%. Harusnya kumatikan saja sebelumnya. Aku takut tidak bisa menghubungi Jaemi jika bisa keluar dari hutan ini.

Kulihat Wonwoo membuka galeriku yang sepi. Hanya ada sebuah pas foto, informasi lowongan kerja dan beberapa fotoku dengan Jaemi saat temanku itu menggunakan ponselku untuk berswafoto. Vampire itu sempat terdiam saat memandangi foto kami. Tidak teralih sampai daya ponselku kandas.

Wonwoo mengangkat kepalanya. Matanya menatap lurus ke depan untuk beberapa saat, hingga melirikku sambil berkata, "Kenapa gambarnya hilang?"

Aku tidak bisa melihat ekspresinya yang sekarang, tapi suaranya terdengar terkejut. Aku coba menanggapinya dengan tawa ringan. "Handphone-ku sudah mati. Dia kehabisan energi dan harus dapat makanan dalam bentuk listrik," jelasku. Meskipun sebenarnya aku ragu dia terkejut hanya karena ponsel yang mati, mengingat ekspresi tegangnya saat melihat fotoku dengan Jaemi.

"Benda ini sangat menarik. Jika kita masih hidup setelah keluar nanti, kau harus mengajariku cara memakainya lebih banyak," katanya dengan suara datar khasnya.

"Jadi.." Wonwoo mengembalikan ponselku dulu, sebelum lanjut berkata, "Apa yang kau dapat dalam mimpi semalam?"

"Banyak." Hanya itu ucapku. Karena terlalu banyak, aku sampai tidak tau harus menyimpulkan apa. Satu hal yang dapat kurangkum. Tuan Chang adalah dalangnya.

"Bukankah Jeonghan hyung, Joshua hyung, dan Jun belum ada di sana?" Dia menyadarkanku. Tapi..

"Bukankah Jeonghan adalah bagian dari seluruh cerita kalian? Dia yang menentukan kalian hingga jadi satu."

Terdengar jentikan jari. Sebuah api muncul di tangan Wonwoo dan dia meletakkannya di sebuah lilin yang tak jauh dari kami. Suasananya jadi seperti listrik rumah yang padam. Bedanya, aku ditemani seorang pria tampan yang bukan manusia. Hanya saja, perasaan berdebar itu tetap ada.

"Setiap orang punya ceritanya masing-masing. Meski dia sutradara atau penulis sekalipun, dia punya cerita tentang kehidupannya sendiri." Suara Wonwoo yang berat, terasa hingga ke dadaku. Ada hal romantis yang mendebarkan. Kurasa, pikiranku telah kacau karena semua hal keanehan ini.

Aku refleks memalingkan wajah berpura-pura melihat seisi kastil ini. Tapi suaranya yang memanggilku, membuat kepalaku teralih kembali padanya. Mata tajamnya sungguh menawan. Tidak hanya mata, bahkan semua pada dirinya.

Sebelum dia berkata, aku duluan yang berucap, "Kau tidak membaca pikiranku, kan?"

"Aku tau, tapi aku berusaha menjaga privasimu. Itu yang kau mau, kan?"

"Mwoya??!" teriakku tiba-tiba. Aku tidak bisa menahan diri dari perasaan aneh ini. Kenapa denganku ini??!

"Kenapa kau?" tanya Wonwoo bingung. Aku tidak menjawab, tapi kepala digelengkan saja.

Sayang, Wonwoo sepertinya tidak paham dengan rasa maluku. Hatinya tidak sepintar otaknya. Aku jadi harus menahan debaran saat daguku diangkat olehnya dan kening kami ditempelkan. Aku tidak kuasa menatap matanya, jadi kuputuskan menutup mata.

Outcast CastelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang