Badai Salju

432 80 3
                                    

Kepalaku tidak henti-hentinya memperhatikan Seungkwan yang begitu sibuk mengutak-atik isi tasku. Sesekali dia mengomel dengan isi tas yang sama sekali tidak penting baginya. Apalagi buku yang berisi tentang para vampire itu. Dia hanya melihat isinya sekilas, lalu dilemparnya dengan mengatakan bahwa buku itu palsu.

Dia juga mengomeli obat-obatan yang ku bawa untuk berjaga-jaga. Katanya, lebih baik aku membawa makanan instan atau vitamin saja. Itu akan lebih berguna daripada obat-obatan yang dimakan jika sedang sakit saja. Selama aku menerima seluruh nasihatnya, aku cukup merasa bahwa dia sungguh mirip orang tua.

"Kau ini umur berapa?" Refleks aku bertanya.

"Na?" Dia mengalihkan diri dari tasku untuk menunjuk dirinya sendiri. "Berapa ya? 300-an. Aku tidak ingat tepatnya."

"Kalau yang dulu?"

"20 atau 21 jika tidak salah ingat." Respon Seungkwan seadanya. Dia tidak terlalu mementingkan umurnya. Yang menjadi perhatiannya sekarang hanya memasukkan banyak makanan untuk perbekalanku semalaman ini tinggal di Iglo. 

"Dengan umur yang masih muda, ingkahmu seperti orang tua zaman dulu. Sukanya mengomel dan menasihati." Ucapku tanpa ragu.

"Karena dulunya aku tumbuh dikelilingi perempuan. Aku punya dua kakak perempuan dan dibesarkan oleh ibuku. Tidak dapat didikan dari seorang ayah." Ungkapnya. Otakku mulai berkeliaran menuju hal-hal yang berhubungan dengan pembantaian para vampire. Namun saat aku menanyakannya, Seungkwan membungkam jawabannya.

"Kau boleh menanyakan apapun, asal bukan yang itu." Ucapnya tegas. Menyerahkan tasku yang sudah berat dan rapi setelah barang-barang yang diacaknya, kembali dimasukkan. Kenapa?

"Kau bisa membuang buku dan beberapa barang tidak penting yang ku katakan di luar. Jangan sampai para hyung mengetahui barang-barangmu ada di sini. Jika mereka tau, kau tidak akan bisa melanjutkan perjalananmu." Katanya. Wajah Seungkwan tampak serius. 

"Kajja!" Aku sontak berteriak saat tiba-tiba Seungkwan menggendong tubuhku. Tangannya menahan punggung dan bagian bawah lututku dengan kokoh. Aku pun sontak mengulurkan tangan melingkari lehernya.

"Tutup matamu jika takut." Dia berkata tanpa menatap kedua mataku. Berjalan dengan santai, tidak merasa berat sedikit pun. Padahal aku yakin tubuhku berat untuk ukuran manusia. Bagaimana sebenarnya seorang vampire menilai para manusia yang tentu lebih lemah dari mereka?

Seungkwan menaiki jendelanya. Sayapnya sedikit dirapatkan untuk bisa keluar dari lubang jendela, tapi kakinya terus saja melangkah meski tidak lagi ada tempat berpijak. Dadaku sontak meledak saat kami berdua terjatuh bersama. Aku berteriak kencang sambil memukul-mukul dadanya. Mataku terpejam. Dentuman dari pukulanku terdengar kuat sampai orang yang dipukul mengeluh pura-pura kesakitan.

"Ya! Apa aku vampire yang paling menyedihkan di dunia? Sudah digigit, sekarang dipukul lagi." Protesnya.

Ku beranikan diri untuk membuka mata. Perlahan-lahan dimulai dari sebelah mata. Setelah menemukan kami telah melayang, kedua mataku baru bisa dilebarkan. Langit senja berwarna merah muda dengan sedikit keunguan menyatu dengan indahnya. Matahari jingga bersinar tidak menyilaukan karena sudah siap untuk tertidur. Hamparan debu putih yang menutupi hutan di bawah sana menjadi tampak indah dari atas sini.

Tidak ku sangka, kami terbang cukup tinggi hingga aku bisa melihat hutan dengan salju yang hanya menutupi bagian tengah hutan. Aneh. Tapi itulah yang terlihat dari atas sini. Hawanya pun menyerupai musim dingin. Ku usap-usap lenganku yang bisa merasakan suhu normal kembali. Ada kemungkinan Vernon tidak lagi membagi kekuatannya.

Menyadari aku yang kedinginan, Seungkwan lebih mengeratkan pelukannya. Tentu saja itu membuat dadaku berdebar kencang. Memberikan sensasi panas yang alami dari tubuhku sendiri.

Outcast CastelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang