"Kakiku tidak bisa bergerak." Kejutku. Sehabis Seokmin terbarik di lantai, aku memang tidak berniat untuk menggerakkannya. Tapi saat dia memintaku untuk mengikutinya ke tengah ruangan, jangankan mengangkat, kakiku bahkan tidak bisa bergeser.
Seokmin segera menghampiriku dan menggulung celana bawahku ke atas. Dia juga begitu terkejut saat melihat lapisan es tebal membalut kakiku hingga membeku bersama lantai.
"Aku tidak ingat membekukan kakimu tadi," Katanya. Dia bisa melelehkan es di kakiku dengan cepat. Tapi tentu saja kami berdua masih bingung.
"Kau tidak kesakitan?" Tanyanya. Aku menggeleng singkat. Dia tersenyum penuh arti. "Ada kemajuan."
Hah?
Seokmin melenggang pergi selesai membantuku. Senyumnya membuatku takut. "Apa maksudmu?"
Aku menahan tangannya untuk meminta penjelasan. Tapi dia justru terus berjalan sambil menyeretku. Meski ku paksa sekalipun, tubuhku tetap dengan mudah digesernya. Bahkan Seokmin terlihat tidak kesulitan menggerakkanku.
Hingga kakiku kembali kaku dan menghentikan langkah Seokmin menuju dapur. Aku membelalak melihat kakiku sendiri. Dengan posisi yang bertumpu pada tumit, lagi-lagi kakiku membeku bahkan dengan badan yang sedang tidak lurus.
Senyum Seokmin kembali ditebar. "Tidak perlu belajar apa-apa, kau sudah bisa membekukan kakimu sendiri."
"Ini bukan info bagus," kataku. Aku tidak tau ini hal baik atau buruk. Tapi aku tidak suka jika hanya bisa membekhkan kakiku sendiri. Bukannya membantu, kekuatan ini justru akan membawaku pada petaka di mana aku tidak akan bisa melarikan diri.
Seokmin tertawa. Katanya dia depresi, tapi dia bisa mudah tertawa saat denganku. Tertawa di atas penderitaan atau kebingunganku?
Dia berjongkok dan mengusap kakiku. Mencairkannya lagi dengan kekuatannya.
Kugerak-gerakkan kaki ini. Melompat-lompat kecil untuk memastikan kakiku baik-baik saja. Tiba-tiba aku tidak mau menempel dengan lantai. Takut membeku lagi.
Vampire itu memperhatikan kesibukanku. Dia bertanya dengan polosnya, "Bagaimana caramu melakukannya?"
"Jika aku tau, aku tidak mungkin membekukan diri sendiri." Sinisku.
"Jadi aku tidak perlu mengajarimu apa-apa lagi kan?"
Yang benar saja?! omelku dalam hati. Wajah lugu itu sungguh membuatku ingin mencubitnya habis-habisan.
"Kau tidak berniat mengajariku ya? Aku hanya bisa membekukan diri. Mana mungkin aku tidak butuh diajari?" Berusaha keras, aku menahan murka.
"Tapi aku sebenarnya tidak bisa mengajari apa-apa." Bibirku terbuka lebar. "Aku hanya pemain bertahan. Bukan penyerang."
Aku memiringkan kepala. Ungkapan itu seakan dirinya sebuah karakter dalam game atau bidang olahraga.
"Menurutmu, apa yang bisa diharapkan dengan es? Jika tebal, dia kuat dan kokoh. Cocok menjadi benteng pelindung. Sama sepertiku. Aku hanya bisa menahan orang-orang untuk tidak mendekat lebih jauh menggantikan tiga vampire yang harusnya berada di benteng pertama."
Lagi-lagi dia meremehkan dirinya sendiri. "Kau tidak pernah mengkonsumsi obat depresimu lagi ya?"
"Bagaimana kau.." Dia menepuk jidatnya sendiri. Mungkin dia baru ingat sempat menginggungnya sesaat.
Lalu berjalan sendiri mengambil obat tersebut di tempat terakhir kali aku meletakkannya. "Percuma saja aku meminumnya. Nanti aku pasti memuntahkannya lagi."
Benar juga. Dia vampire sekarang. Lalu, bagaimana caranya bertahan dari penyakit kejiwaan ini?
"Pada sadarnya, obat ini hanya untuk membantu mengendalikan otak. Dia hanya memanipulasi. Aku saja yang ketergantungan pada obat ini. Padahal yang harusnya bisa mengendalikan otak ini ya aku sendiri. Bukannya obat." Seokmin melemparnya ke tembok sampai botol itu pecah dan menyerakkan sisa pil yang ada ke lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Outcast Castel
FanfictionDahulu ketika para vampire masih menguasai kota, kami hidup dalam kegelapan yang diselimuti darah kawanan kami sendiri. Hidup dengan ketakutan dan bau darah yang menyebar di penjuru kota. Namun itu sudah ratusan tahun berlalu. Kini para manusia ting...