43. Rival

2.6K 303 64
                                    

Gilden Alberio, salah satu mantan kekasih Anindira yang harus ia hindari.

Beberapa waktu lalu, pria itu kembali menghubunginya. Tentu saja Anin abaikan. Ia tak mau membuka luka lama yang masih terasa sisanya.

Hari ini ia berencana untuk memastikan bahwa neneknya, Caroline, tidak akan membawa Anin ke Berlin. Meski kakaknya itu terdengar bercanda saat mengatakan bahwa Caroline akan memboyongnya pulang, ia tetap merasa khawatir.

Jika benar adanya, Anin harus melaksanakan rencana B, menghubungi papanya untuk mengendalikan kuasa sang nenek terhadapnya. Meski ia tahu, keberhasilannya hanya berkisar dia puluh sampai tiga puluh persen saja.

Ia menuruni tangga rumahnya, menenteng tas kecil yang selalu ia bawa saat keluar rumah.

Sepertinya Darel belum pulang dari sekolah. Pria itu selalu nongkrong bersama teman-teman gengnya di kala pelajaran telah berakhir.

Untung saja, akhir-akhir ini Darel jarang terlihat tawuran dengan teman sebayanya. Anin tak perlu mengkhawatirkan kakaknya yang terkenal akan kengerian saat berlaga di lapangan.

Ia menengok ke arah kamar Caroline. Terlihat tertutup begitu rapat dan nyaris tanpa suara. Apakah neneknya belum bangun atau ia sudah pergi ke suatu tempat?

Anin memilih bersandar di dinding samping kamarnya. Ia benar-benar harus bertemu dan berbicara dengan sang nenek hari ini juga.

Ponselnya kembali berdering membuat Anin mengeluarkannya dari dalam saku.

Ia melihat nomor yang tertera di sana sebagai nomor tak dikenal.

Alisnya menyatu menunjukkan raut heran. Apakah ini Gilden?

Kenapa pria itu tiba-tiba mendatanginya kembali?

Anin menekan tombol merah, menolak panggilan yang masuk. Setelah panggilan itu berhenti, Anin membuka nomor itu kembali lalu memblokir nya.

"Salah makan kali ya si Gilden?"

Anin tersentak saat pintu itu terbuka nyaris menabrak dirinya yang tengah berdiri di depan pintu.

"Om Ilham," cicit Anin merasa terkejut dengan penglihatannya.

Pria yang menjadi orang kepercayaan ayahnya keluar dari kamar sang nenek berserta seorang wanita lengkap dengan peralatan medis di tangannya.

"Oma kenapa?" tanyanya mulai merasakan sesuatu yang tidak enak.

"Cuma butuh istirahat. Hari ini jangan diganggu dulu, ya."

"Anin boleh masuk?"

Ilham terlihat meminta persetujuan dokter pribadi Caroline. Anin melihat wanita itu tersenyum kecil kepada Anin.

"May I?" tanya Anin yang menebak bahwa wanita itu tidak berbahasa Indonesia.

"Sure."

Anin tersenyum kecil lalu meminta jalan untuk masuk.

"Thanks. Makasih, Om."

***

Anin melihat Caroline yang terbaring dengan mata terpejam. Ia berjalan dengan begitu perlahan agar tidak mengganggu oma kesayangannya yang mungkin tengah terlelap.

Ia duduk di salah satu kursi yang tersedia di samping ranjang Caroline. Lalu ia meraih tangan neneknya dengan begitu lembut.

"Oma. What's goin' on?"

Anin terlihat begitu sedih melihat wanita yang penuh kasih terhadapnya terbaring sakit dan tak berdaya.

"Arabell?"

Vous Me Voyez? ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang