50. Deserved!

3K 320 71
                                    

Murid Juandika itu telah melewati garis finish lima menit setelah Galen menikung tajam di lintasan terakhir. 

Penonton bersorak meriah saat Galen mengacungkan tangan tanda kemenangan mutlak berada dalam genggamannya. Ia terlahir sebagai penguasa track balap, siapa lagi yang berani menantang Galen untuk adu eksistensi?

Galen turun dari motornya, ia terlihat menghampiri Arya, murid Juandika yang diidamkan akan menjadi calon pembalap nasional.

"Such a good game," kata Galen mengulurkan tangannya kepada Arya. 

Pergerakan sederhana itu membuat teman Galen sedikit terkejut. Ini adalah pertama kalinya pria itu tidak meninggalkan arena balap setelah menyelesaikan pertandingan. Biasanya, Galen akan segera pulang atau sekedar beristirahat di basecamp mereka, tidak peduli dengan ekspresi kalah lawan tandingnya.

Malam ini, ia terlihat berbeda. Galen mengulurkan tangannya seraya memuji permainan Arya. Jika ia sampai rela turun dan menghampiri lawannya atas kemauan Galen sendiri, artinya permainan yang telah terjadi cukup berkesan untuknya.

"Thank you, Gal." Arya menerima uluran tangan Galen kemudian berjabat selama beberapa detik. "Gue juga takjub sama pembawaan lo tadi. Race terakhir bener-bener lo manfaatkan dengan baik, gue kecolongan."

Arya terlihat mengusak rambutnya merasa kesal pada diri sendiri karena telah dikalahkan oleh seseorang yang bahkan hanya hidup dalam race liar.

"Kalo kita tanding di arena resmi, mungkin gue bisa aja kalah," kata Galen merendah. Padahal, pria itu kerap kali menyambangi arena-arena resmi dengan biaya yang mungkin bisa membeli satu motor balap setiap bulannya. 

Ia dan temannya yang lain bukan sekedar klub anggota balap biasa. Mereka menekuni kegiatan ini dengan serius. Tidak ada pekerjaan sampingan yang mereka lakukan seserius mereka berada dalam arena balap. 

Setelah selesainya pertandingan, Galen merebahkan diri di atas sofa basecamp. Sepertinya, pria itu tidak berniat untuk pulang.

Jaden yang kebetulan memergoki Galen mulai terlelap, melemparkan handuk basah yang ia gunakan untuk membasuh wajahnya.

"Sialan!" umpat Galen membuka mata.

Ia mendapati Jaden menyeringai di depan pintu. "Lo lagi galau?" tanyanya tanpa merasa berdosa sedikitpun.

Pria yang menjadi atensi Jaden mlaam ini mendengus kasar karena ia terlambat menyadari bahwa kini di antara mereka, ada Jaden yang sangat cepat tanggap membaca kondisi di sekitarnya.

"Tadinya gue mau diem aja. Karena biasanya, muka lo balik sumringah kalo abis balap." Pria itu memicingkan mata kembali melihat Galen. "Tapi malam ini, gue liat dengan jelas keresahan yang melingkupi muka jelek lo. Pasti ada sesuatu, 'kan?"

Galen melirik ke sekitar ruangan tempat ia merebahkan diri. Tidak ada siapapun di sana selain Jaden dan Galen.

"Mereka gue suruh pergi beli makanan, Kania juga."

Mata Galen melirik Jaden cukup tajam. Ia melihat Jaden mengambil posisi duduk di salah satu kursi yang bermuatan satu orang saja berbentuk jaring tepat berhadapan dengan sofa yang disusuki Galen.

"Licik," kata Galen mengatai Jaden. Pria itu dengan sengaja mengosongkan basecamp hanya untuk memancing Galen untuk bercerita.

"Gue perhatian orangnya. Gak ada orang yang bisa lo ajak ngobrol secara normal di antara kita selain gue," kekeh Jaden menyeruput kopi panas yang baru saja ia buat sebelum mencuci wajahnya.

Hening.

Pandangan Galen terlihat menengadah ke atas seolah keberadaan Jaden hanya sekedar fana di matanya.

Vous Me Voyez? ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang