52. Debar

3.3K 310 19
                                    

***

Galen terlihat sedikit panik saat tiba-tiba ia diberi kabar bahwa kakeknya sudah berada di rumah.

Apalagi mau orang tua itu? Tidak cukupkah Galen menuruti segala keinginannya untuk bergabung dalam dunia bisnis yang begitu sangat ingin ia hindari?

Ia mempercepat laju motornya mengingat waktu saat ini menunjukkan jam sibuk orang berlalu lalang memenuhi perempatan lampu merah setiap sudut jalan.

Tin! Tin!

Suara klakson terus Galen bunyikan ketika ia hendak melesat, menyusul kendaraan lain yang menghalangi jalannya. Bukan hal sulit untuk Galen menerobos kemacetan sekecil apapun celah yang tersisa.

Ia hanya perlu melewati satu rambu lampu merah serta berbelok ke arah kanan. Maka ia akan menemukan gerbang yang menjulang tinggi, pembatas tanah milik keluarganya dan milik umum.

Galen sudah berbelok dan mulai memasuki pekarangan rumah Daniar. Ia melihat beberapa mobil sudah terparkir di halaman rumah Galen. Kakeknya memang selalu muncul dengan cara yang aneh dan tidak terduga. Dan semua itu selalu membuat Galen susah.

Ia melepaskan helm yang sempat menemaninya pulang ke rumah selama beberapa menit. Dengan rambut yang masih tidak tertata, ia meninggalkan motornya lalu masuk ke dalam rumah.

Beberapa orang penjaga menunduk sopan saat melihat Galen datang.

Tidak banyak membuang waktunya, ia berlari menaiki tangga menuju ruang kerja ayahnya. Pria tua itu pasti sudah terduduk nyaman di sana.

Galen menemukan kakek sekaligus papanya yang tengah menengok ke arah Galen yang kini mematung di depan pintu.

Tenggorokannya terasa kering dan mendadak Galen menjadi sedikit tidak enak badan. Mengapa ia harus menghadapi keduanya sekaligus sih? Padahal, ia masih belum memutuskan kepindahan dan juga belum sempat merencanakan pemboikotan.

"Vio tutup pintunya!" titah Albert selalu tuan besar di rumah Galen. Galen sedikit memiliki perasaan yang tidak enak.

Vio mengangguk lalu melangkah mundur untuk keluar dari ruangan. Tanpa diberitahu pun, ia sudah pasti diharuskan menunggu di luar.

Setelah semua orang pergi meninggalkan Galen dan dua pria dewasa yang selalu hadir merecoki hidup Galen, Albert memberikan kode kepada puteranya untuk duduk di salah satu kursi kosong tepat di hadapan keduanya.

Galen bergeming. Ia sangat enggan untuk duduk di kursi panas itu. Apalagi ia yakin bahwa setelah ini kupingnya akan memerah.

"Galen."

"Duduk."

Albert memperjelas maksud lirikan matanya.

Pria itu menghela napas panjang lalu menggeser kursinya cukup kasar dan terlihat tidak sopan.

"Dari mana kamu?" tanya Albert membuka pertanyaan.

"Main."

"Main?" ulang Albert memicingkan matanya ke arah jam dinding yang terpaku kuat di atas perapian.

"Jam berapa ini, Galen?"

Galen mendesah pasrah merasa hari ini akan menjadi hari paling melelahkan.

"Ini weekend, Pa. Emang Galen gak boleh keluar rumah?" tanyanya memancing Albert.

"Galen kan masih muda," tambahnya terlihat sangat tidak bersahabat.

Papanya hanya akan bersikap sedikit lembut jika Melisa ada disini bersama mereka.

Vous Me Voyez? ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang