Revan tidak jadi menginap di rumah neneknya, ia merasa situasi sedang tidak baik. Keira terlihat begitu syok setelah mendengar penuturan neneknya. Revan perlu memberi waktu untuk Keira agar bisa mencerna semuanya. Revan sendiri menyayangkan sikap neneknya tadi.
Karena terlalu asyik melamun, Revan tidak menyadari bahwa mobilnya sudah keluar jalur. Revan baru tersadar saat mobilnya menabrak pohon di pinggir jalan.
"Sial!"
Revan mengumpat ketika merasakan lututnya sakit karena terbentur entah apa. Saat hendak keluar dari mobilnya ia merasa kakinya tidak bisa digerakkan. Akhirnya Revan memutuskan untuk memanggil bantuan.
***
Di apartemen, Eliza belum bisa memejamkan mata. Berkali-kali ia berusaha menghubungi Revan. Tapi ponselnya tidak aktif. Ketika sedang dilanda perasaan gelisah, datang panggilan dari rumah sakit, memberitahukan bahwa saat ini Revan sedang dirawat.
Dengan panik, Eliza bergegas pergi ke rumah sakit menggunakan taksi online. Ketika sampai, ia segera menghampiri Revan yang masih di ruangan gawat darurat.
"Mas, kamu kenapa? Kok bisa jadi kayak gini?" Eliza mengamati kaki Revan yang digips.
"Cuma patah tulang, sedikit." Revan menjawab singkat sambil terus memeriksa ponselnya. Walaupun sedang tertimpa musibah, masih sempat-sempatnya pria itu memikirkan pekerjaan.
"Terus gimana, Mas?" tanya Eliza khawatir.
"Aku harus menginap di rumah sakit, kemungkinan butuh operasi juga."
"Ya Allah." Eliza merasa sedih melihat keadaan suaminya. "Terus gi ...."
Revan mengangkat telapak tangannya ketika Eliza hendak bertanya lagi, pria itu sedang menerima telepon dari sekretarisnya. Setelah memberi pengarahan singkat, Revan pun memutus panggilan.
"Keluarga udah dikasih tau?" tanya Eliza lagi.
"Mereka jangan sampai tau. Cuma kecelakaan kecil, jangan bikin nenek panik." Larang Revan. Eliza hanya mengangguk dengan patuh.
"Kamu pulang saja. Aku bisa sendiri." Revan malah mengusir Eliza.
"Kamu nggak suka aku temenin, Mas?" Eliza merasa sedih karena Revan mengusirnya.
"Bukanya gitu ... ah, terserahlah." Revan malas berdebat dengan Eliza. Saat ini yang ia butuhkan hanya istirahat.
Eliza menunggui Revan sampai keesokan harinya. Sejujurnya Revan merasa tidak leluasa ditemani Eliza, Revan lebih suka sendiri, dirawat suster daripada istrinya.
"Kamu pulang dulu, gih. Ambil baju ganti." Revan memperhatikan Eliza yang belum mandi dari kemarin.
"Oke. Nanti aku datang lagi." Eliza berpamitan kepada suaminya sebelum pergi.
Eliza hanya sebentar pulang ke rumah, setelah itu ia bergegas kembali ke rumah sakit, kasihan Revan kalau tidak ada yang menjaga.
Saat Eliza tiba di rumah sakit, Revan sudah dipindahkan ke ruangan lain, ruangan VVIP. Ketika memasuki kamar Revan, Eliza kaget karena didalamnya ada beberapa teman kerja Revan.
"Assalamualaikum." Eliza mengucapkan salam dengan sopan sambil tersenyum ramah.
Teman-teman Revan menoleh padanya, hanya segelintir orang yang menjawab salamnya. Eliza tak merasa tersinggung, mungkin mereka non muslim.
Revan menatap Eliza dengan canggung, kemudian membuang muka, karena penampilan Eliza terlihat sangat sederhana, hanya mengenakan baju one set dan jilbab bergo, seperti penampilan bibi komplek.
"Siapa, Van?" Teman Revan yang bernama Steven berbisik-bisik.
"Dia ...." Revan tampak kesulitan menjawab pertanyaan Steven.
Pandangan Eliza tertuju kepada seorang gadis cantik berambut pirang yang sedang berdiri di samping ranjang Revan. Gadis itu tersenyum ramah kepada Eliza.
Gadis itu mengamati penampilan Eliza yang sederhana. Kemudian matanya beralih ke tas pakaian yang ada di tangan Eliza.
"Baju gantinya taruh di situ saja, Mbak." Gadis bernama Grace itu menunjuk lemari kecil di samping tempat tidur.
"Oh, dia mbak-mbak yang kerja di rumah lo, ya?" Steven mengangguk paham, kemudian tersenyum kepada Eliza.
Eliza membalas senyum Steven dengan canggung. Dalam hati Eliza merasa sangat sedih melihat sikap Revan, pria itu diam saja, tidak membantah pertanyaan Steven. Jadi, selama ini Revan hanya menganggapnya sebagai 'mbak-mbak yang kerja di rumahnya' begitu?
Apa penampilannya sejelek itu? Tanpa sadar Eliza mengamati penampilannya sendiri. Dia memang terlihat kurang modis, apalagi jika dibandingkan dengan 'si pirang' tapi Eliza juga tidak sekumal itu, sampai-sampai dikira mbak-mbak ART.
Memangnya siapa si pirang ini? Seenaknya saja menganggap dia pembantu? Sebenarnya pembawaannya sopan, tapi tetap saja Eliza merasa sakit hati.
Eliza sengaja memindahkan baju Revan ke lemari dengan pelan. Ia sempat mendengar percakapan Revan dengan teman-temannya. Ia juga menyaksikan dengan mata kepalanya, Revan sedang disuapi apel oleh si pirang.
Jadi, ini sebabnya Revan bersikeras menyuruhnya pulang?
Jangan-jangan si pirang ini ada hubungan dengan Revan? Memikirkan kemungkinan itu, tiba-tiba air mata Eliza hendak merembes keluar.
Jadi seperti ini, tipe wanita yang disukai Revan? Rambut pirang, tubuh tinggi dan ramping, pakaian branded dari atas ke bawah. Tentu saja Eliza jauh dari kriteria seperti itu.
Yo gak mampu aku, dudu spek idamanmu ... tiba-tiba Eliza mengingat sebuah lagu yang sempat tren. (Gaosah ikutan nyanyi ya 🤭)
"Kalian balikan aja kenapa, sih? Keliatan masih saling sayang gitu." Steven memperhatikan Grace yang mengelap mulut Revan menggunakan tissue.
Mendengar ucapan Steven, seketika Eliza menoleh ke arah Revan dan Grace. Revan hanya diam. Padahal Eliza sedang menunggu tanggapannya.
***
Masya lalu, biarlah masya laluuuh .... 🤣