105

590 29 2
                                    

Di rumah Revan, Kiera terus saja kepikiran dengan status si Marni, eh Mirna. Ya udahlah sama aja, typo dikit nggak ngaruh ya 'kan?

Revan memperhatikan adiknya yang lebih banyak merenung. Apa Kiera minder karena sampai sekarang belum punya anak? Apalagi omongan nenek yang kemarin pedes banget, melebihi mi Gaga jalapeno.

"Sabar aja, Ki. Mungkin tahun depan lo bakal nyusul punya anak." Revan berusaha menghibur Kiera.

"Siapa yang mau punya anak? Udah ribet, ngabisin duit. Mending gue beli skincare." Kiera menyahut dengan sewotnya.

"Astaghfirullah, punya anak itu anugerah, Ki. Ribet pasti, tapi kalau urusan ngabisin duit, anak itu udah ada rejekinya masing-masing. Perantaranya ya kita, selaku orang tuanya. Insyaallah lelah kita akan menjadi pahala." Eliza menasihati adik iparnya panjang lebar. Membuat Kiera semakin sebal, bukannya insyaf.

"Coba lo lihat muka anak gue." Revan memerintah.

Kiera melirik sebentar bayi di gendongan Steven yang masih tertidur pulas. Cakep, sih. Tapi gedenya pasti nyebelin, kayak emak bapaknya. Keliatan dari bibirnya yang tipis, tipe-tipe bibir tukang julid.

"Steven juga udah pantes banget gendong anak kayak gitu." Revan menambahkan.

"Dia mah udah keliatan kayak bapak-bapak. Buncit, botak juga." Kiera malah mencibir.

"Mana ada gue botak dan buncit? Gue rajin nge-gym tau." Steven kesal karena ucapan Kiera yang asal.

"Buruan bikin, Ki." Revan berkata lagi.

"Pelan-pelan, Pak sopir. Bikin anak nggak semudah itu. Gue kudu nyiapin mental, yang paling penting materi. Btw udah lama gaji suami gue nggak naik loh." Kiera sengaja mengkode.

"Iya, nih. Padahal gue udah kerja keras bagai kuda. Hidup gue isinya kerja, kerja, kerja. Kayak pak Jokowi. Sampai nggak ada waktu buat senang-senang. Pulang kerja gue langsung tidur, bangun tidur gue langsung kerja, pas kerja pingin tidur, pas tidur mimpi kerja." Steven malah curhat panjang.

"Besok kalau lo udah ada anak, gue naikin gaji lo. Itung-itung buat tambahan beli susu sama pempers." Revan menjawab.

"Yah, kok gitu, sih. Padahal sebagai calon bumil gue juga butuh gizi yang memadai, agar promil gue berjalan dengan sukses." Kiera masih membujuk Revan.

"Ya lo makan aja mi sukses." Revan menjawab lagi.

"Nggak boleh gitu, Bang. Orang pelit kuburnya sempit. Sama adek sendiri juga ...." Kiera mengancam secara halus.

"Biarin kuburan sempit. Emang gue suka yang sempit-sempit kok. Biar slim fit kuburan gue." Revan berkata menyebalkan.

"Oh, ya. Anak kalian namanya siapa?" tanya Steven.

"Belum tau, masih bingung kebanyakan referensi. Kalian ada ide?"

"Kasih nama Madun aja." Kiera menyela.

"Kasih nama yang bagus dikit kenapa? Masa Madun? Tega banget sama ponakan lo." Revan tidak terima.

"Bagus lagi. Ada lagunya juga. Madun di tangan kananku, racun di tangan kiriku." Kiera menyanyi dengan nada sumbang. Sampai bayi di gendongan Steven menangis.

Revan segera menenangkan anaknya. "Bawa istri lo pulang, Steve. Bisa-bisa anak gue sawan."

Merasa diusir, Kiera langsung keluar rumah Revan dengan kesal. Sudah baik ia mau nengok keponakannya, bahkan menyumbang nama, malah diusir. Ciri-ciri abang yang halal disembelih.

***

Malam harinya, Kiera masih belum tidur. Dia masih sibuk memandang layar ponselnya. Steven yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya, masuk ke kamar.

"Tidur, Ki. Udah malem." Steven menata bantal di sampai Kiera.

"Tanggung. Lagi seru." Kiera mengabaikan perintah suaminya.

"Nonton apa, sih?"

"Ini gue lagi nonton artis yang pada live jualan di tik tok." Kiera menjawab.

Steven melihat jam dinding. "Jam sebelas gini masih jualan? Siapa coba yang beli?"

"Mungkin orang yang amnesia." Kiera menjawab asal.

"Insomnia." Ralat Steven.

"Pantesan gue nggak kaya-kaya. Mereka aja yang udah kaya masih jualan. Lah gue, bisanya cuma belanja aja."

"Lo mau jualan juga? Pinjem aja modalnya ke bank Mekar." Steven menyahut sambil menguap.

"Jual apa, ya? Yang sekiranya nggak pake modal, terus cepet dapat cuan." Kiera tampak berpikir keras.

Steven yang hampir memejamkan mata, kaget, saat Kiera menepuk pundaknya.

"Bang, kok malah tidur, sih? Diajak bahas bisnis juga. Jarang-jarang gue kayak gini. Bukannya bantuin mikir ... kenapa? Takut kalah saing kalau udah jadi pebisnis sukses, iya?" Kiera berkata dengan pedenya.

"Semua nggak semudah kelihatannya, Ki. Lo ngeliat pas mereka lagi sukses. Padahal di balik kesuksesan mereka, ada harga yang harus dibayar. Ada waktu, tenaga dan air mata yang tercurah." Steven berkata bijak.

"Jadinya gue jual apa, nih?" Kiera tampak tidak memahami ucapan suaminya. Membuat Steven kesal karena sudah buang-buang tenaga melayani Kiera.

"Terserah lo, mau jual apa. Jual aja 'tuh alun-alun, pasti cepet kaya."

***

Kawin GantungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang