115

656 40 5
                                    

Sepanjang jalan Kiera terus saja menangis, membuat Burhan tidak tau harus berbuat apa. Bukannya apa, Burhan takut orang akan salah paham padanya, dikira ngapa-ngapain customer.

"Udah, Ki. Jangan nangis terus. Berantem dalam rumah tangga itu biasa. Orang tua gue noh, tiada hari tanpa berantem. Segala piring melayang, sampai gue dan adik-adik gue makan pakai piring plastik, kadang pakai kertas minyak. Mereka baru berhenti bertengkar waktu salah satunya meninggal. Sekarang malah mama gue kangen berantem sama bokap gue."

"Tapi gue capek berantem terus." Kiera menjawab sambil terisak.

"Gue pingin punya rumah tangga kayak orang-orang. Adem, ayem, rukun tentram, gemah ripah loh jinawi. Sakinah mawadah war ... apa tuh namanya?" Kiera malah balik bertanya kepada Burhan.

"Wardah?"  Burhan menjawab polos.

"Bukan! Nggak tau ah lupa. Bukannya rumah tangga kayak gini, war terus. Perang terus." Kiera mengeluh lagi.

"Ya udah, sih, Ki. Kalau suami lo nggak mau ngalah, ya elu dong yang ngalah. Dalam rumah tangga harus ada salah satu yang ngalah. Kata mama sih gitu. " Burhan menasihati Kiera.

"Kenapa harus gue yang ngalah, sih? Gue kan lebih muda. Lagian gue cewek. Dimana-mana yang harus ngalah itu cowoknya. Pokoknya gue nggak terima, Burhan!" Kiera malah memukuli punggung Burhan sebagai pelampiasan.

"Terus sekarang lo maunya gimana?" Burhan bertanya balik.

"Gue mau cerai aja. Gue merasa nggak dihargai sama sekali. Udah berkali-kali diberi kesempatan, tapi apa yang gue dapet?"

"Piring cantik?"

"Zonk, Burhan! Gue disakiti lagi dan lagi. Beginilah rasanya cinta, deritanya tiada akhir."

Burhan diam menyimak cerita Kiera. "Ya udah, Ki. Terserah lo aja. Tapi saran gue, coba pikirkan sekali lagi. Takutnya lo menyesal."

"Ngapain gue menyesal pisah sama dia? Masih banyak cowok yang mau sama gue." Kiera berkata dengan sengit.

"Iya, gue ngerti. Banyak cowok yang sama lo. Tapi masalahnya, cowok yang lo mau kan cuma dia. Betul, apa benar?"

"Mana lo bener lagi ...." Kiera menjawab pelan.

"Gue anter pulang aja, ya. Biar lo bisa istirahat dan mikir yang tenang. Mandi, makan, terus bobo siang." Burhan berkata penuh perhatian. Untung saja Burhan ini tipe cowok yang baik, suka menasihati bukan malah kompor.

"Nggak, ah. Gue males pulang. Gue masih males liat muka dia." Kiera menolak saran Burhan.

"Terus mau gue anter kemana? Apa mau ke rumah kakak lo?"

Kiera memikirkan saran Burhan, pergi ke rumah Revan bukan saran terbaik. Revan pasti akan menasihatinya panjang lebar, terus ujung-ujungnya manggil Steven suruh jemput.

"Gue nggak tau harus kemana. Turunin gue di sini aja, Burhan. Duit gue tinggal 50 ribu doang. Gue nggak bisa bayar lo lagi." Kiera mengulurkan selembar uang biru.

"Apaan, sih, Ki? Kayak sama siapa aja." Burhan menolak uang pemberian Kiera.

"Tapi lo sekarang kan lagi kerja. Ntar mama lo marah, kalau lo pulang nggak bawa setoran." Kiera kasihan kepada Burhan. Tadi sebenarnya ia tidak bermaksud merepotkan Burhan, Kiera tidak sengaja melihat Burhan yang sedang mangkal di sekitar kantornya. Mungkin ini hari yang sial untuk Burhan. Dapat penumpang depresi sekaligus bokek.

"Lo mau kemana aja gue anter. Nggak usah bayar, oke?" Burhan mengerti kalau tidak baik meninggalkan Kiera seorang diri dalam keadaan tidak stabil seperti ini. Kiera bisa saja berbuat nekat.

Kawin GantungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang