"Ini." Revan segera menyerahkan paper bag yang dibawanya kepada Eliza.
Wajah Eliza langsung berbinar-binar. Ia menerima pemberian Revan dengan antusias. "Alhamdulillah ... makasih, Mas."
Revan heran melihat reaksi Eliza. Kalau perempuan lain yang selama ini dikencaninya merasa senang karena dibelikan tas branded atau baju branded, Eliza cukup bahagia dibelikan Al-Qur'an seharga seratus ribu rupiah.
"Baca di ponsel 'kan bisa." Revan berujar.
"Lebih afdhol kalau pakai mushafnya langsung, Mas." Eliza menjawab sambil tersenyum. "Mas mau disiapkan makanan?"
Revan menggeleng. "Nggak usah. Gue tadi udah makan di luar. Sama klien."
"Oh." Eliza mengangguk pelan. Sebenarnya dia kecewa juga masakannya tidak dimakan oleh Revan. Tidak apa-apa, rencananya Eliza akan puasa sunnah besok, makanan itu dijadikan menu sahur saja.
"Saya masuk kamar, ya, Mas?" Eliza meminta ijin kepada Revan. Pria itu hanya mengangguk pelan.
Setelah pintu tertutup, Eliza segera memeriksa Alquran pemberian Revan. "Bagus sekali."
***
Sayup-sayup Revan mendengar suara Eliza yang sedang mengaji. Suaranya cukup merdu. Rasanya sudah lama sekali dia tidak mendengar suara orang mengaji secara langsung. Biasanya ia hanya mendengarkan melalui radio di mobil, itupun segera diskip.
Tak terasa Revan menyandarkan punggungnya di pintu kamar Eliza, hingga ia tertidur.
Pagi harinya, Eliza kaget menemukan Revan tergeletak di depan kamarnya, pria itu tertidur pulas masih mengenakan kemeja kerjanya, bahkan dasinya belum dilepas.
"Mas, bangun." Eliza membangunkan Revan dengan panik. Mengira Revan pingsan di depan kamarnya.
"Jam berapa ini?" tanya Revan sambil melakukan peregangan.
"Sudah subuh. Mas nggak sholat?" Eliza tidak pernah jera untuk mengingatkan Revan sholat.
"Nggak ada topik lain, El? Ini masih pagi loh." Revan berdiri, lalu berjalan ke dapur untuk mengambil air minum.
"Maaf, Mas. Tapi aku nggak akan pernah berhenti untuk mengingatkan kamu." Eliza mengikuti Revan yang duduk di meja makan.
"Sudah kewajiban seorang muslim, untuk mengingat muslim lainnya, apalagi ini suami aku sendiri." Eliza tetap teguh pada pendiriannya.
"Kamu tidak bisa memaksa aku, El. Hidayah datang kepada seseorang yang dikehendaki Allah. Tapi itu bukan aku."
"Kenapa kamu yakin kalau itu bukan kamu, Mas?"
"Aku ... sudah memutuskan hubunganku dengan dia. Bahkan aku mulai meragukan keberadaannya."
"Istighfar, Mas."
"Jangan coba menasihati aku, El. Percuma saja. Nenek sekalipun tidak akan bisa menasehati aku tentang hal ini." Revan berjalan ke kamarnya untuk mandi.
Eliza tidak mengejar Revan lagi. Semua memang butuh proses. Eliza tidak akan menyerah untuk mengingatkan suaminya.
***
"Mas, nanti bisa pulang cepat? Aku mau belanja." Eliza menghubungi Revan saat jam makan siang.
"Lalu apa hubungannya dengan aku?" tanya Revan datar.
"Aku belum tau daerah sini, Mas. Aku takut kesasar."
"Kenapa nggak belanja di mall bawah saja?"
Yang dimaksud Revan adalah mall di bawah apartemennya, di sana juga menyediakan barang kebutuhan pokok seperti sayur dan lauk pauk, cuma harganya lebih mahal.
"Di sana mahal, Mas. Aku mau belanja di pasar induk saja."
"Mau mahal atau murah, itu tidak ada hubungannya dengan kamu, El. Di sini aku yang nyari duit." Revan berkata dengan kesal.
"Tapi 'kan sayang uangnya, Mas."
"Sudahlah, aku tidak mau berdebat tentang uang yang tidak seberapa. Pekerjaanku masih banyak. Berhenti menghubungi aku saat jam kerja." Revan menutup panggilan dengan kasar. Boro-boro salam.
Walau begitu, tetap saja Revan pulang lebih awal untuk mengantar Eliza belanja. Melihat suaminya datang, Eliza senang bukan kepalang. Eliza segera mengganti bajunya.
"Apa nggak ada baju yang lebih layak?" tanya Revan miris. Penampilan Eliza terlihat sangat kucel di matanya. Tidak ada tampang-tampang seperti istri bos sawit sama sekali.
"Kan cuma ke pasar, Mas." Eliza memperhatikan penampilannya.
"Ya sudah, terserah." Revan akhirnya mengalah.
***
"Yakin, mau masuk?" Revan bergidik ngeri melihat penampakan pasar di depannya. Padahal pasar induk yang ini tergolong bersih. Pasar modern yang baru diresmikan tahun lalu. Tapi tetap saja penampakan pasar ini tidak ada estetikanya di mata Revan yang sudah terbiasanya dengan ruangan ber-AC.
"Kamu mau tunggu di mobil aja, Mas?" tanya Eliza.
"Kayaknya begitu lebih bagus." Revan geli melihat sandal mahalnya terkena tanah di pasar.
"Ya udah, aku masuk dulu, ya, Mas? Nggak lama kok. Aku nggak belanja banyak." Eliza segera melesat meninggalkan suaminya masuk ke pasar. Tiba-tiba Revan menahan tangan Eliza.
"Eh, tunggu, El. Sekalian aja kamu belanja yang banyak. Buat sebulan kalau bisa. Biar aku nggak usah mondar-mandir nganter kesini."
"Mana boleh gitu, Mas. kita kan cuma berdua. Buat apa belanja banyak? Toh kamu juga jarang makan di rumah. Nanti mubasir. Ingat, mubasir temannya siapa?"
"Mana aku tau lah. Yang namanya mubasir aja aku nggak kenal. Nggak tau anak mana." Revan menjawab cuek sambil memainkan ponselnya.
"Mubasir temannya setan, Mas." Eliza memutar mata malas.
"Udah, nggak usah bahas setan. Ingat kamu ke sini buat apa? Buat mu ... lung." Revan mendorong pelan tubuh istrinya. Eliza hanya mendengus kasar mendengar candaan Revan.
Saat sedang menunggu Eliza belanja, Revan mendapat telepon dari teman Kiera. Mengatakan adiknya itu tengah mabuk di sebuah klub, dan terlibat pertengkaran.
Tanpa membuang waktu, Revan segera melesat menuju club tempat Kiera berada. Sampai-sampai Revan melupakan Eliza.
***
Buset si Kiera, masih sore udah mabok aja 🤣 mabok heula ... Mabok heula ... kata chef Bobon 🤭
Itu juga si Revan, seenaknya aja cabut. Itu istri lo ketinggalan di pasar, Bwang! 🤣🤣🤣
