"Pak, kami bisa jelaskan."
Satpam itu melihat penampilan Steven dari atas ke bawah. Kemudian pria tua itu tersenyum sinis.
"Jelaskan apanya. Itu sudah jelas. Celana kamu itu robek."
"Itu tadi karena saya manjat pagar, Pak. Tadi kami nggak ngapa-ngapain kok." Steven menjelaskan lagi.
"Pokoknya saya harus bawa kalian ke balai desa. Biar kalian disidang oleh warga. Biasanya ujung-ujungnya dinikahin. Saya heran sama anak muda jaman sekarang, mbok ya kalau mau mesum itu modal gitu loh. Masa di observatorium, biar nambah adrenalin apa gimana?" Satpam itu menggeleng keheranan. Kemudian merogoh saku celananya, hendak mengambil ponsel.
Melihat hal itu, Steven segera menahan tangan pak satpam yang bernama Udin itu.
"Jangan, Pak Udin. Please!"
"Dari mana kamu tau nama saya? Nggak usah sok kenal, ya!" Pak Udin menghempaskan tangan Steven.
"Saya baca, Pak." Steven menunjuk dada Pak Udin.
"Sebenarnya kami pasutri kok, Pak." Kiera membantu Steven untuk menjelaskan. Tentu saja Pak Udin tidak percaya begitu saja.
"Coba mana buktinya?"
Kiera dan Steven sama-sama kebingungan. Mereka tidak mungkin membawa buku nikah kemana-mana.
"Ki, di galeri lo ada foto nikahan kita?" Steven berbisik ke arah Kiera.
"Ponsel gue kan ketinggalan di villa. Emang di ponsel Abang nggak ada?" Kiera bertanya balik.
"Gue nggak simpen. Kehapus waktu gue bersih-bersih galeri."
"Keterlaluan. Terus sekarang gimana?"
Pak Udin memperhatikan kedua orang itu berbisik-bisik. Kemudian pria tua itu berdehem. Sontak membuat Kiera dan Steven menghentikan perdebatan mereka.
"Ada nggak buktinya? Kalau enggak, terpaksa saya panggil warga ...."
"Eh, jangan, Pak!" Steven berteriak dengan panik. Seketika Steven merasa sangat bodoh. Kenapa tidak minta tolong kepada Revan saja.
"Baiklah, kalau Bapak nggak percaya. Saya panggil kakak ipar saya."
Dengan cepat Steven menghubungi Revan. Dia sempat panik karena Revan tak juga mengangkat ponselnya.
Rupanya Revan sedang sibuk 'main' dengan anaknya. Pria itu merasa terganggu ketika Steven terus menerus menghubunginya.
"Kenapa, sih, ini orang? Udah kayak orang pinjol aja."
"Angkat aja, Mas. Siapa tau penting." Eliza menyuruh Revan menjawab ponselnya yang terus menjerit meminta perhatian.
Akhirnya dengan malas-malasan Revan menjawab panggilan Steven.
"Lo kemana aja, sih, Bro?"
Terdengar suara panik dari Steven di seberang sana.
"Kenapa nelpon?"
"Lo harus datang kesini sekarang juga. Gue butuh bantuan secepatnya."
"Bantu apa?"
"Nanti gue jelasin. Yang penting lo ke sini dulu."
"Iya, tapi ke mana?"
"Boscha."
"Boscha? Ngapain lo di situ malem-malem?"
"Panjang ceritanya. Pokoknya lo harus cepat ke sini."
"Jelasin dulu. Baru gue berangkat."
"Iya-iya ... jadi gini, gue sama Kiera ... ketangkep satpam ...."
"Emangnya kalian ngapain?"
"Nggak ngapa-ngapain. Tapi dikira ...."
"Iya-iya, gue ngerti. Gue kesana sekarang juga."
Revan menutup telponnya. Kemudian dengan malas berjalan ke lemari untuk mengambil jaketnya.
Eliza hanya bisa memandang dengan raut wajah kebingungan.
"Sebenarnya ada apa, sih, Mas?"
"Tau tuh, si Kiera sama si Steven. Nyusahin aja. Mau begituan aja pake ke sana. Sini 'kan bisa."
"Mereka kenapa, Mas?" Eliza bertanya dengan khawatir, takutnya terjadi kecelakaan atau apa.
"Ketangkep satpam. Dikira ena-ena di Boscha."
"Hah?" Eliza masih belum bisa mencerna penjelasan dari Revan.
"Aku keluar bentar, ya. Kamu tunggu sini. Jangan lupa kunci pintu." Revan mengusap punggung istrinya, kemudian mengambil kuncinya mobilnya di nakas.
Eliza hanya bisa memandang punggung suaminya yang berjalan tergesa keluar kamar.
"Kok jadi gini, sih? Kenapa harus di sana? Kan di sini banyak kamar ...." Eliza masih tak habis pikir dengan perbuatan adik iparnya.
***
"Benar, kamu kakak iparnya?" pak Satpam memandang curiga ke arah Revan.
Revan tersenyum tenang, kemudian mengambil ponselnya. "Saya ada foto nikahnya. Bapak mau periksa?"
Revan mengulurkan ponselnya ke arah pak Satpam. Pak Satpam memeriksanya. Kemudian berkali-kali melihat ke arah Kiera.
"Kayaknya perempuannya bukan ini?"
"Itu beneran saya kok, Pak. Coba lihat baik-baik. Waktu itu saya memang di make up agak tebal." Kiera menjelaskan dengan terbata.
Pak Udin mengembalikan ponsel Revan. Kemudian memandang Steven dan Kiera bergantian.
"Baiklah, saya percaya dengan kalian. Tapi tetap saja kalian salah. Walaupun sudah suami istri, harus tetap begituan pada tempatnya. Asal kalian tau, di sini agak angker. Takutnya nanti gancet. Kan merepotkan warga," pesan Pak Udin.
"Iya, Pak." Kiera dan Steven menjawab kompak. Tidak ada pilihan lain selain mengiyakan, biar cepat urusannya.
***
Di mobil, mereka bertiga hanya diam. Kiera masih kesal kepada Revan yang tega memarahinya di depan Eliza tadi siang.
"Pantesan lo dituduh nggak senonoh. Itu celana lo robek. Untung burungnya nggak lepas." Revan meledek Steven.
"Gara-gara dia, nih." Steven menjewer telinga Kiera.
"Gue nggak ngajak, ya. Abang sendiri yang maksa ikut." Kiera mengelak.
Kedua orang itu pun terlibat adu mulut yang cukup membuat kepala Revan pusing.
"Udah. Berantemnya lanjutin di kamar. Terserah mau berapa ronde ...."
"Dih, nggak sudi. Cuih!" Kiera mendorong badan Steven ke samping.
"Alah, tadi aja lo nangis-nangis di pelukan gue. Lupa?" Steven tidak terima dengan perlakuan kasar Kiera.
"Nggak usah kegeeran. Tadi gue cuma khilaf. Terbawa suasana aja." Kiera berkilah.
"Iya, tapi cukup lama juga. Ampe gue kegerahan. Kenceng lagi meluknya. Nyaman bilang, Bos!"
"Heleh ... mana ada. Dada tipis kayak kertas HVS aja." Kiera mengejek.
Revan semakin pusing mendengar perdebatan kedua pasutri itu.
"Diem. Atau gue turunin di jalan?"
***
***
