"Seriusan mau belanja di sini?" Kiera enggan masuk ke sebuah mall yang dipilih Steven.
Sebenarnya mall itu cukup bagus, terletak di pusat kota juga. Tentunya barang-barang yang dijual di sana cukup berkualitas. Dibanding belanja di pasar grosiran.
"Kenapa, sih? Kan judulnya mall juga."
"Sorry to say, yah. Gue nggak pernah nginjek ubin mall kayak gini. Gue biasanya belanja di mall-mall kelas atas."
"Sama aja, Ki."
"Beda!"
"Ya udah, sih. Pilih-pilih dulu aja. Barangkali ada yang suka." Steven menggandeng tangan Kiera untuk memasuki mall. Kalau begini mereka jadi terlihat seperti suami istri beneran.
Kiera tampak cemberut saat Steven mengajaknya masuk ke sebuah butik. Mukanya ditekuk, mulut seperti Suneo.
"Itu yang ungu bagus."
"Nggak mau, warna janda!" Kiera menolak baju yang dipilihkan suaminya.
"Ijo juga bagus."
"Malah kayak tabung LPG!"
Steven menggaruk pelipisnya, bingung mau memilihkan baju yang cocok untuk Kiera.
"Apa mau ganti toko lain aja?" tawar Steven.
"Nggak usah ribet, deh. Kasih aja mentahannya, gue bisa kok belanja sendiri."
"Masalahnya baju yang lo pilih nggak ada yang bener, Ki. Bahannya sedikit tapi mahalnya selangit." Steven menolak permintaan Kiera.
"Mending baju ini, nggak mahal, bahannya tebel, nggak kekecilan lagi," imbuh Steven.
"Sorry banget, ya! Gue nggak biasa pakai pakaian murah. Kulit gue bisa iritasi." Kiera berkata dengan sombongnya. Sempat didengar juga oleh mbak-mbak kasir, membuat Steven malu sendiri.
"Daripada kelamaan, gue aja yang pilih." Steven mulai mengambil beberapa pasang baju yang menurutnya cocok untuk Kiera.
"Pokoknya gue nggak mau pakai, ya. Lo aja yang pakai sendiri!" Kiera memperingatkan.
"Terserah. Mau dipakai, mau dibuang. Emang lo mau pakai baju itu terus?" Steven menunjuk baju yang dipakai Kiera.
"Mending gue pakai bathrobe."
"Iya, terserah lo aja."
Steven berjalan ke arah kasir, diikuti Kiera di belakangnya.
"Mbak, saya mau ini semua. Tolong dihitung." Steven berbicara kepada mbak kasir. Dengan sigap mbak kasir menghitung semua belanjaan Steven.
"Semuanya tiga juta delapan ratus ribu, Pak."
Steven segera menempelkan ponselnya ke gambar QRIS. Kiera hanya bisa diam sambil terus cemberut.
Setelah semua belanjaan sudah dibungkus oleh mbak kasir, Kiera dan Steven segera meninggalkan toko itu.
Segera saja mbak kasir yang sedari tadi menahan jengkel kepada Kiera, bergosip dengan teman di sampingnya.
"Gila, ya! Cewek yang tadi itu ... nggak ada bersyukurnya sama sekali. Padahal cowoknya udah baik, kelihatan sabar juga."
"Ganteng juga," sahut gadis di sebelahnya. "Emang nggak ada bersyukurnya, muka kayak pulu-pulu aja. Cakepan gue kemana-mana. Coba abangnya mau sama gue."
"Dih, ngarep lo!"
"Mana sok banget, ngatain baju di toko kita jelek, bikin kulitnya gatel lah. Belagunya ngalah-ngalahin Nagita Slavina."
"Iya, bener 'tuh."
Wajah keduanya memucat, saat Kiera berdiri di depannya. Kiera kembali untuk mengambil tasnya yang ketinggalan, tadi dia sangkutkan di tiang hanger.
"Gue denger kalian tadi ngomong apa!"
"Kami nggak ngomong apa-apa kok, Mbak." Kedua gadis itu menjawab gugup.
"Jangan bohong! Kalian ngatain muka gue kayak pulu-pulu 'kan?"
"Enggak, Mbak. Suer ...."
"Kalian juga mau sama suami gue 'kan? Ambil!" Kiera berteriak, membuat orang-orang di sekitarnya berbisik-bisik.
"Udah, Ki. Malu dilihat orang." Steven segera menarik tangan Kiera dan membawanya keluar.
Sesampainya di parkiran, Keira segera menghempaskan tangan Steven.
"Gue belum puas marahnya!"
"Kalau lagi marah gini, muka lo kayak pulu-pulu beneran. Ngaca 'tuh di spion."
Kiera terdiam mendengar ucapan Steven. Dia hanya melirik sekilas ke arah spion.
"Bener 'kan?" ledek Steven.
"Bodo! Pokoknya gue mau pulang!" Kiera membuka pintu mobil dengan kasar.
"Nggak mau makan dulu?" tanya Steven.
"Makan! Terus pulang!"
"Oke."
***