"Mas, kamu nggak ada cita-cita buat bantu aku masak?" Eliza melirik Revan yang mulai sibuk dengan laptopnya.
"Aku bantu ... doa." Revan menjawab tanpa melihat ke arah istrinya.
"Oke. Nanti kamu nggak usah makan, cukup doa aja allohuma bariklana, ntar juga kenyang sendiri."
Revan menutup laptopnya, kemudian bergegas ke dapur. Daripada urusan jadi semakin panjang. Istrinya sekarang sangat mudah marah, senggol bacok pokoknya. Mentang-mentang bumil. Kalau mau umur panjang harus banyakin ngalah.
"Apa yang harus aku kerjain?" Revan masuk ke dapur dan menghampiri istrinya.
"Tolong kamu ulek bawang itu ya." Eliza menunjuk cobek yang diatasnya terdapat bawang yang sudah dikupas.
"Kalau ada blender, kenapa harus aku?" Revan mulai protes.
"Itung-itung latihan gym, Mas. Lagian kamu kan laki, tenaga kamu pasti kuat kalau cuma ngulek gitu. Percuma punya otot gede kalau nggak kepake." Eliza menyerahkan ulekan kepada Revan.
"Tapi 'kan ...."
"Jangan banyak bantah. Kalau disuruh istri itu yang ikhlas kenapa? Nggak ada kontribusinya deh kamu tuh ... sama bawang lima biji aja kalah."
Revan mulai mengerjakan perintah istrinya dengan setengah hati. Sebenarnya kalau cuma ngulek sih gampang. Tapi nggak seru kan, kalau nggak pakai ngelawan dulu.
"Aku nyuruh kamu ngulek bawang ya, Mas. Bukan ancurin cobek aku!" Eliza melirik gaya ngulek Revan yang seperti orang ngambek.
"Nanti sekalian bakar dapur ini juga, ya," sindir Eliza lagi.
"Udah tuh, terus aku harus ngapain lagi?" Revan mendorong cobek beserta ulekan di dekat Eliza.
"Kamu putus-putusin itu akar toge." Eliza menyerahkan satu kantung kresek merah isi toge.
"Satu-satu?"
"Terserah gimana caranya, yang penting itu toge kudu bersih akarnya."
"Sebenarnya kamu mau masak apa, sih?" Revan menggerutu sambil memulai pekerjaannya.
"Bikin bakwan." Eliza menjawab singkat.
"Ngidam, ya? Yakin deh anak kita jenis kelaminnya laki." Revan tersenyum, memang dia kepingin punya anak laki, biar bisa disuruh-suruh pasang lampu.
"Sotoy kamu. Tau dari mana?"
"Kalau anaknya cewek kamu nggak ngidam bakwan, tapi bakwati." Revan malah cengengesan.
"Garing."
Eliza kesal karena sedari tadi memotong wortel selalu dimakan Revan. Padahal wortel itu masih mentah.
"Ini aku kerja nggak ada hasilnya, ya." Eliza menyindir Revan. "Udah kayak kelinci kamu
....""Daripada masak nggak jelas, lebih baik tengok adek bayi." Revan tersenyum licik sambil memeluk istrinya dari belakang.
"Nggak jelas gimana? Orang dari tadi aku udah kelaparan. Minggir, nggak kelar-kelar aku masaknya." Eliza malah mengusir Revan.
Setelah sekian lama, akhirnya masakan Eliza matang juga. Padahal cuma masak bakwan.
"Alhamdulillah, akhirnya bisa makan juga." Eliza membuka rice cooker dengan wajah berbinar. Tapi senyumannya seketika musnah.
"Mas, ini kenapa nasinya masih berair?"
Revan menghampiri istrinya, kemudian melongok ke dalam rice cooker.
"Rusak apa ya ...." Revan memeriksa rice cooker itu.
"Masa rusak? Baru beli pas habis nikahan kok. Masih beberapa bulan." Eliza ikut bingung. "Tadi udah kamu pencet kan?"
"Apanya?" Revan bertanya bingung.
"Hidung kamu! Ya tombolnya, Mas ...." Eliza yang sedang kelaparan mulai emosi jiwa.
"Kan kamu nggak nyuruh? Bilangnya cuma colokin, gitu." Revan menjawab dengan muka polos.
"Nggak tau ah!" Eliza meletakkan piringnya di meja dengan kesal. Ia berjalan ke kamar dan rebahan, seluruh badannya ditutup selimut.
Eliza mulai menangis terisak-isak, hormon kehamilan dan perut lapar, membuatnya gampang emosi, padahal cuma perkara nasi mentah.
"Jangan nangis dong. Apa dipesenin gofood aja?" Revan memijit kaki istrinya. "Maklumin, dong. Namanya aku bapak newbie. Mana ngertilah, yang kayak gitu."
Eliza tiba-tiba bangkit dari tidurnya, teringat cucian yang belum dia jemur. Revan mengikuti istrinya sampai ke laundry room.
"Kamu apain cucian aku, Mas? Kenapa masih jadi berbusa gini?" Eliza melirik curiga ke arah Revan.
Revan menggaruk kepalanya bingung. "Keracunan apa ya ...."
"Tadi kamu masukin apa?" tanya Eliza lagi.
"Pewangi. Kan kamu nyuruhnya gitu. Yang itu botolnya." Revan menunjuk botol di depannya.
"Ya Allah, Mas. Itu deterjen cair!" Eliza berada di puncak kekesalannya.
"Ya maaf, kan nggak tau ...."
"Makanya, budayakan membaca, Mas. Ah, kamu mah ... ini aku harus ulang bilas lagi, nunggu lagi, buang-buang waktu aku aja. Kan capek, Mas." Eliza menangis sambil berjongkok di laundry room.
"Tuh kan, udah dibilang laundry aja, nggak nyampe seratus ribu juga." Revan malah menyalahkan istrinya. "Ya udah, besok aku cari pembantu, biar kamu nggak kecapekan."
"Aku kesel bukan karena capek, tapi karena kamu ngacak-ngacak kerjaan aku!"
"Kan udah minta maaf, harus dimaafkan dong. Udah, sekarang kita makan di luar aja, sekalian jalan-jalan. Nggak usah pengiritan kayak orang susah."
***
Terus itu bakwan siapa yang makan, Bambang? Paling kesel, udah capek masak ... eh, malah orang rumah pada beli di luar. Kalau enggak, dapat besek hajatan, alamat kalah saingan masakan gue 🤣 apalagi kalau anak gue bikin emi, auto gue coret dari KK 🤣 udah capek-capek dimasakin, malah bikin emi, nggak bersyukur banget 🤣 siap-siap besok makan sayur daur ulang, alias diangetin. Yah, walaupun masakan gue nggak enak-enak amat, sebagai manusia beradab, kudu dihargai lah ya, masak juga pake tenaga, walaupun gue pake blender 🤣