"Terima aja tawaran nenek. Lumayan lo dimodalin bikin usaha. Bagus juga kalau kita jadi saudara." Revan memberi saran kepada Steven.
"Gue bukan cowok pengeretan, ya!" Steven tersinggung dengan ucapan Revan.
"Adek gue juga nggak jelek-jelek amat. Cuma agak bodoh aja. Dikasih vidoran smart nanti juga mendingan."
"Jangan ngadi-ngadi. Nikah nggak segampang itu. Gue bukan kambing yang main tubruk aja."
"Coba dulu."
"Coba gimana? Emangnya lo nggak masalah adek lo gue cobain?"
"Bukan gitu. Maksudnya, kalian saling mengenal dulu. Siapa tau cocok."
"Males, ah. Buang waktu. Udah keliatan gue sama Kiera nggak cocok."
"Adek gue kenapa? Bau badan? Nanti gue suruh beli bedak MBK deh."
"Gue serius, Van. Kiera tuh kekecilan buat gue."
"Kekecilan gimana?"
"Terlalu muda maksudnya."
"Lo aja yang ketuaan. Itu karena lo suka pake kacamata kayak bapak-bapak. Ganti kenapa, sama kacamata yang lebih modis. Jangan pake kacamata dari BPJS gini."
"Dijelasin juga lo nggak bakal paham. Intinya gue nggak bisa nikahin dia. Titik. Bisa-bisa gue setiap hari kelaparan. Orang dia nggak bisa masak."
"Bisa kalau diajarin. Nanti gue suruh kursus deh. Di aplikasi ruang guru."
"Nggak usah repot-repot, gue masih trauma waktu dia bikin bolu saat lo ultah. Habis makan kue bikinan dia, gue opname tiga hari karena dehidrasi, mencret nggak berhenti."
"Oh, yang kue bentuknya kayak kawah gunung Bromo kejatuhan meteor itu ya?" Revan tertawa mengingat bentuk kue bikinan Kiera.
"Please. Kalau lo memang sahabat gue, bantu gue bilang ke nenek, gue nggak tega kalau nolak langsung. Muka nenek melas banget."
"Nanti gue coba, ya. Kalau nggak bisa, terpaksa lo harus nikahin adek gue. Tapi alasannya apa?"
"Bilang aja beda ras."
"Ras apa? Sama-sama Asia tenggara juga."
"Gue kan putih, Keira item doff, nanti anak kami jadi kayak tapir, separoh item, separuh putih, kan nggak lucu?"
"Padahal item juga manis kok, kayak meses. Cari alasan yang lain deh. Kayaknya alasan yang itu nggak mempan. Soalnya nenek gue pinter."
"Bilang aja gue ada penyakit mematikan."
"Penyakit apa?"
"Magh."
***
Steven tidak bisa mengelak, saat nenek menyuruh mengajak Kiera jalan-jalan untuk pendekatan. Padahal Steven sudah membuat alasan sedemikian rupa.
"Tapi saya ada lembur, Nek," tolak Steven.
"Lembur apa? Nenek udah tanya sama Revan, katanya kamu hari ini libur kok. Jangan suka bohong sama orang tua, Steve. Nanti kualat." Mutia memperingatkan.
"Tapi di komplek saya ada kerja bakti, kalau hari minggu gini." Steven beralasan lagi.
"Kerja bakti berapa lamanya, sih? Nggak mungkin sampai malam. Itu kerja bakti, apa kerja rodi?"
"Tapi, Nek ...."
"Coba dulu, Steve. Siapa tau Kiera cocok dengan kamu. Orang tuamu juga sudah setuju kok."
Mutia memang sudah kenal baik dengan keluarga Steven, dulu mereka sempat bertetangga.
Steven tidak bisa mengelak lagi, terpaksa ia mengajak Keira jalan. Kiera berdandan sangat cantik. Nenek yang suruh.
"Kita mau jalan kemana, Ki?"
"Terserah." Kiera menjawab cuek, sepertinya masih kesal dengan Steven.
"Gue minta maaf karena udah nggak sengaja hina lo semalam. Gitu aja marah. Biasanya lo kebal sama hinaan gue."
"Nggak sengaja apanya? Minta maaf doang gampang. Ini hati orang udah terlanjur sakit." Kiera menepuk dadanya dengan berlebihan.
"Gue beliin mi ayam, gimana? Sebagai penebus kesalahan gue."
"Ih apaan mi ayam. Nggak elit amat."
"Terus maunya apa?"
"Laksana."
"Laksana apa, sih? Laksamana?" Steven tampak berpikir keras.
"Ituloh makanan Italy." Kiera menajawab polos. "Dulu pernah diajak mantan gue makan itu."
"Lasagna, Munaroh! Nyebut aja nggak bisa. Udah deh, paling bener lo makan mi ayam aja."
"Makanan ayam kenapa dikasih gue, sih?"
"Makanan ayam gimana? Ini mi, bukan bekatul."
"Lah itu mi ayam, mi-nya ayam 'kan?"
"Gini orang kalau kecilnya telat imunisasi. Mi ayam, pea! Bukan mi-nya ayam. Terus kalau mi setan, itu mi-nya setan?"
"Kalau nggak ikhlas nraktir, gak usah ngatain setan! Gue bayar sendiri juga bisa!" Kiera malah lebih ngegas.
Steven mulai capek berdebat dengan Kiera. Semakin ditanggapi, Kiera semakin tidak jelas.
"Orang kayak gini mau jadi istri gue? Yang ada gue stroke! Udah deh, Ki. Lo diam aja. Ntar gue kasih makan."
Setelah selesai makan mi ayam, Steven mengajak Keira pulang. Tadi Kiera makannya tidak habis, katanya tekstur mi-nya keras, seperti karet gelang.
"Jedai gue mana?" Kiera memegang ubun-ubunnya dengan panik.
"Jedai apa? Gue taunya jablay."
"Jedai, jepitan badai. Tadi masih ada. Pasti ketinggalan di tempat mi ayam. Puter balik!"
"Gila lo ya, jepitan dua ribu aja lo bela-belain." Steven menolak mematuhi perintah Kiera.
"Itu jepitan limited edition, ya! Satu Indonesia yang punya cuma lima orang, salah satunya Kekeyi. Harganya tujuh juta. Dibeliin mi ayam bisa dapat gerobak sekaligus abang-abang nya."
"Lebay."
"Serius. Itu gue belinya kudu ngamuk dulu. Baru dibeliin sama mantan gue."
"Ntar gue beliin."
Kiera mengajak Steven ke mall yang terkenal elit, gerai-gerai di sana brand high end semua. Kiera menarik tangan Steven untuk masuk ke salah satu gerai.
"Tuh 'kan nggak ada!" Kiera berkata dengan kesal.
"Cari model lain aja. Tuh yang bentuk babi bagus." Steven menunjuk jepitan rambut warna pink di depannya.
Kiera mengambil jepit rambut yang ditunjuk Steven, kemudian ia mengamati wajah Steven dengan ragu.
"Beneran nggak papa? Ini harganya lima belas juta loh."
Steven kaget mendengar nominal yang disebutkan Kiera. Nggak salah? Jepit rambut seuprit aja harganya segitu? Dibeliin motor bekas udah dapet.
Steven mengambilkan jepit rambut itu ke tempat asalnya.
"Jangan deh, Nanti lo dikira ponakannya patkay. Emang yang harganya sepuluh ribuan nggak ada?"
***
Sandal sky way noh sepuluh ribu 🤣
