"Lho, katanya cuti seminggu, kok sekarang udah masuk?" Steven kaget melihat Revan pagi-pagi sudah pergi ke kantor.
"Gue masuk kerja lebih cepat. Ternyata mending kerja daripada di rumah." Revan menjawab singkat sambil masuk ke dalam lift khusus direktur, disusul Steven.
"Wah, kenapa tuh?"
"Gue nggak nyangka, ternyata diam di rumah lebih capek. Disuruh-suruh terus sama istri." Revan memulai sesi curhatnya.
"Ya baguslah, jadi suami siaga. Masih mending istri lo nyuruh lo, kan emang faktanya suaminya adalah lo. Ntar kalau istri lo nyuruh suami orang aja ...." Steven memutus ucapannya ketika melihat wajah Revan yang bersiap marah.
"Sok tau banget ya lo! Kawin aja belum," cibir Revan.
"Emang disuruh ngapain aja lo?" tanya Steven penasaran.
"Disuruh ke pasar, cuci piring, setrika, ngepel ... banyak deh pokoknya."
"Jadi, udah tiga hari lo nginem ya?" Steven malah cekikikan, membuat Revan kesal.
"Halah, ntar juga lo ngalamin kayak gue. Kalau bini lo hamil," balas Revan.
"Oh, tentu tidak, Ferguso! Gue bakal gaji ART buat bantu-bantu di rumah. Nggak usah ribet kayak orang susah."
Revan berpikir sejenak, sepertinya ia juga butuh ART. Daripada disuruh-suruh terus. Di kantor boleh direktur, tetap aja di rumah kerjaannya nginem. Apa kata dunia ....
"Cariin gue ART dong, urgent."
"Cari aja di yayasan. Kan banyak tuh, tinggal pilih."
"Cariinlah! Ini gue nyuruh lo, tau!" Revan berkata galak.
"Gitu, adabnya orang minta tolong?" Steven menyindir Revan. "Mau yang kayak gimana? Tua, muda apa sedang?"
"Yang mudalah."
"Hm, akal bulus lo! Nyari yang muda buat apa? Biar sekalian lo cemilin, gitu?" Goda Steven.
"Suujon aja. Kalau yang muda tenaganya masih kuat. Bisa disuruh jemur kasur. Ngapain juga nyari yang tua, sama-sama bayar juga." Revan beralasan.
"Awas aja kalau lo sampai main gila sama pembantu. Ingat, istri lo lagi hamil." Steven mengingatkan.
"Jangan samain semua orang kayak lo, ya. Gue ini masih punya iman, emang kayak lo, yang sukanya nonton JAV." Revan mengingatkan kebiasaan Steven saat masih SMA.
"Udah nggak pernah gue. Takut nanti di akhirat mata gue ditusuk pake tusukan pentol." Steven memberi klarifikasi.
"Cariin secepatnya, ya. Gue butuh banget soalnya, kalau bisa hari ini juga," titah Revan.
"Sekata-kata lo ya kalau nyuruh, udah kayak Roro Jonggrang. Dikira nyari pembantu segampang nyari tumbal? Kudu di-screening dulu, ini orang rajin nggak, jujur nggak ... ntar gue cariin, yang jelek. Biar nggak bisa lo godain."
"Nggak bisaan lo, liat gue seneng." Revan meninggalkan Steven untuk masuk ke ruangannya.
***
Sore hari, saat Revan belum pulang kerja, Eliza sedang mengaji di ruang tamu. Tiba-tiba ada tamu yang datang.
"Saya di suruh pak Revan langsung naik ke atas, Bu."
Seorang gadis cantik berusia awal dua puluhan, berdiri di depan pintu. Gadis bernama Titin yang asalnya dari Tasik itu tersenyum kepada Eliza.
"Kamu siapa, ya?" tanya Eliza deg-degan, belum apa-apa hatinya sudah curiga.
Jangan-jangan ini istri sirinya mas Revan ... tega kamu, Mas! Aku baru hamil lima bulan, kamu udah gercep aja kawin lagi.
"Saya ART yang baru, Bu." Titin menjawab lagi.
"Kamu masuk dulu." Eliza meninggalkan Titin di ruang tamu. Kemudian ia masuk kamar untuk menghubungi Revan.
"Iya, Sayang."
"Mas, kamu nyari pembantu kok gak bilang-bilang aku dulu, sih?"
"Orangnya udah datang, ya? Itu tadi aku nyuruh Steven kok. Bukan aku sendiri yang pilih."
"Bener, bukan kamu yang pilih?"
"Iya. Aku seharian sibuk nengok proyek. Emang kenapa, sih? Orangnya aneh? Nanti aku suruh Steven ganti deh."
"Nggak gitu, Mas ... orangnya nggak aneh. Cuma ...."
Cakep ....
"Terus masalahnya dimana, Sayang?"
"Ah, nggak tau deh, Mas!"
"Lho, dicariin pembantu kok malah marah? Ini kan supaya kamu nggak capek kerja."
"Iya, sih ... tapi kan ...."
"Sayang, nanti kita bicara lagi, ya. Sekarang aku lagi sibuk banget. Nggak papa kan?"
"Hm."
Eliza menutup panggilan dengan kesal. Kemudian berjalan ke rumah tamu untuk berbicara dengan Titin.
"Kapan saya bisa mulai kerja, Bu?" tanya Titin penuh harap.
"Nanti, saya tanya suami saya dulu." Eliza menjawab datar, entah kenapa perasaannya tidak enak melihat kedatangan Titin. Padahal penampilan gadis itu jauh dari kesan seronok. Mungkin ini yang dinamakan insting seorang istri sah hehe ....
Titin melihat gelagat Eliza yang terlihat kurang menyukainya. Seketika Titin menjadi resah.
"Tolong saya diterima ya, Bu. Saya butuh banget kerjaan ini. Adik saya di kampung banyak. Ibu saya sakit-sakitan. Bapak saya cuma kerja buruh tani." Titin memohon.
"Nanti saya diskusikan dulu dengan suami saya. Kamu jangan maksa, Tin."
***
Kerja yang bener lu, Tin 🤣🤣🤣
Takutnya kayak kasus mawar AFI 🤭
![](https://img.wattpad.com/cover/334557021-288-k454606.jpg)