Revan mengajak Eliza untuk menjenguk Kiera di pesantren, sekaligus untuk memberikan bantuan berupa sembako. Juga mengantar cemilan dan skin care untuk Kiera.
"Sehat, Ki?" sapa Revan yang melihat wajah Kiera jadi lebih bersinar.
"Alhamdulillah, Kak. Walaupun badan aku jadi kayak gini, kayak anjing dalmation. Katanya kena gudik."
Kiera menunjukkan tangan dan kakinya yang terdapat bekas luka.
"Wajar. Namanya juga anak pesantren, belum afdhol kalau belum kena gudik." Revan menanggapi santai.
"Nanti Kakak belikan salep scabies. Kamu perlu apa lagi? Nanti biar Kakak belikan. Obat kutu rambut, mungkin?"
Kiera menggeleng. "Cuma mau nanya, kira-kira sampai kapan aku ditaruh sini?"
"Kenapa? Kamu mau pulang sekarang?" Revan agak kasihan dengan Kiera yang terlihat agak kurusan. Mungkin tidak cocok dengan makanan di sini.
Di luar dugaan Revan, Kiera menggeleng keras. "Enggak, Kak. Aku kerasan kok di sini, selamanya juga nggak papa."
Revan mulai curiga melihat gelagat Kiera yang menurutnya aneh. "Apa yang bikin kamu betah tinggal di sini? Jangan bilang karena cowok ...."
Kiera tersenyum malu mendengar tebakan kakaknya. Kemudian mengangguk pelan.
Revan menghela nafas berat, sambil melirik ke arah istrinya.
"Sudah aku duga. Kamu dikirim kesini supaya belajar agama, Ki. Bukan malah jelalatan nyari cowok. Emang siapa namanya?"
"Ustadz Fahri. Dia cowok yang Kiera taksir." Kiera menunduk sambil tersenyum, kakinya sibuk menyepak kerikil di tanah, persis seperti tingkah ABG Citayem yang sedang di wawancara.
"Hah? Ustadz Fahri? Tapi dia kan ...." Eliza menghentikan ucapannya saat Kiera menatapnya tajam.
Tentu saja Eliza kenal siapa itu Ustadz Fahri, dulunya beliau adalah ustadz Eliza juga. Orangnya memang terkenal ramah dan juga rupawan. Bukan hanya Kiera, banyak juga teman-teman Eliza yang sempat naksir dengannya.
"Ya sudah, terserah saja." Revan menanggapi santai.
"Kakak setuju?" Kiera bertanya antusias.
"Kakak setuju aja. Masalahnya, ustadz Fahri mau nggak sama kamu? Orang kamunya begajulan gitu ...." Revan menyindir Kiera.
"Kalau Ustadz Fahri sih mungkin mau sama Kiera. Masalahnya, istrinya setuju nggak ...." Kiera berkata lirih, tapi masih sempat didengar Revan.
"Apa, katamu, Ki? Istrinya? Maksudnya, dia sudah berkeluarga, begitu?" Revan bertanya dengan emosi meluap-luap.
Eliza segera menenangkan suaminya. Bahaya juga kalau Revan sampai mengamuk.
"Sabar, Mas. Ingat, lagi puasa." Eliza mengusap-usap dada Revan.
Revan berusaha menormalkan pernapasannya. Kemudian menatap Kiera tajam.
"Kemasi barang-barangmu, sekarang!" perintah Revan sambil menunjuk muka Kiera.
"Tapi, Kak ...."
"Dikirim kesini, bukannya belajar agama, malah mau merusak rumah tangga orang! Mau jadi pelakor kamu?" bentak Revan.
Kiera yang mulai menangis karena malu, ditenangkan oleh Eliza.
Melihat ada ribut-ribut, Fahri yang sedang sibuk mengawasi santri yang sedang membungkus sembako dari Revan, datang menghampiri.
"Assalamu'alaikum, ada apa ini, Pak Revan?" Fahri bertanya dengan santun.
"Waalaikum salam, tidak ada apa-apa, Ustadz. Saya cuma mau mengajak Kiera pulang." Revan menjawab singkat.
Fahri kaget mendengar jawaban Revan. "Lho, kenapa, Pak Revan?"
"Tidak ada apa-apa, Pak Ustadz. Dia mau saya kirim ke Mesir saja. Biar nggak bisa cinta lokasi. Kalau mau, sama Onta." Revan menjawab kesal.
Fahri semakin bingung mendengar jawaban Revan. Fahri beralih menatap Kiera.
"Sebenarnya ada apa, ya, Ki?"
Kiera menjawab sambil berderai air mata. "Sebelumnya saya mau nanya, Pak Ustadz."
"Tanya aja, Ki. Nggak usah pakai nangis segala." Fahri memandang prihatin ke arah Kiera yang sesenggukan.
"Pak Ustadz, apakah salah jika kita mencintai seseorang?"
Fahri tampak berpikir sejenak. "Seharusnya sih enggak, Ki. Kan rasa cinta itu datangnya dari Allah. Fitrahnya manusia. Asal jangan melebihi rasa cinta kita kepada Allah."
"Tuh kan? Nggak papa kan ya, Pak Ustadz?" Kiera meyakinkan diri. Fahri hanya mengangguk ragu.
"Saya cinta sama Pak ustadz."
"Hah?"
***
Fahri, Fahri ... dari kemarin closhingan-nya 'hah?' melulu hehe ... 🤣